Sunday, 24 November 2013

Just Believe!!

Ada satu rasa yang sulit sekali ku lewati, karena ini menyakitkan. Mungkin sudah berulang kali aku mengatakannya dan si pendengar pun sudah hampir bosan mendengarnya. Tapi sungguh tidak ada rasa lain yang lebih menyiksa daripada yang satu ini. Sudah berapa pekan ku lalui tanpa sedikitpun terlepas darinya. Tapi ada saat dimana aku merasa rasa ini sungguh nikmat. Membuatku sadar bahwa ada sesuatu yang lebih sehingga aku dapat merasakannya. Mungkin karena sebuah pertemuan, canda, tawa, suka, duka, tangis, atau mungkin perpisahan. tapi lihat.....

TENTANG KITA
Pahit. Pekat. Nikmat.
Pada gelap ku berharap
membuat getir rasa menjadi kuat
Ah, tak apa. Rindu selalu nikmat
Malam. Rasa. Rindu.
Malam dengan gemintangnya
Rasa dengan keajaibannya
dan rindu yang selalu memukau

Tentang kita
Meski jarak tak lagi berdekatan
Meski mata tak saling menatap
yakinlah semua akan baik-baik saja
rasa yang kita bawa selalu sama
Dan ku pastikan langkah-langkah kecilku disana
Menjaga kalian dengan cara yang sederhana

---------------------------------------------

Tanpa ku sadari ada yang tertinggal, hati. Tanpa ku pahami ada yang selalu memberontak, rindu. Mungkin aku terlalu berlebihan,biarlah. Ini hanya tentang rasa. Rindu ini memiliki alasan. Bukan karena aku berpisah atau karena tak bersama. Tapi alasannya hanya karena aku yakin, aku tidak benar-benar pulang. Aku pergi dan meyakinkan hatiku bahwa aku akan kembali. Percaya bahwa tangis ini hanya sementara. Yakin bahwa pertemuan selanjutnya pasti ada. Dan percayalah semua akan baik-baik saja.

Sunday, 10 November 2013

Kalian

Walau makan susah
Walau tidur susah
Walau tuk senyum pun susah
Rasa syukur ini karna bersamamu juga susah dilupakan
Oh ku bahagia..

Sebait istimewa dari lagu ini mengingatkan aku pada satu hal yang belum aku lakukan hari itu, bersyukur. Entah apa yang membuatku begitu bahagia hari itu meski perut lapar, mata masih ingin terpejam karena aku tiba terlalu pagi di kota istimewa, Makassar. Belum banyak yang ku sapa, belum banyak yang ku ucap, belum banyak yang ku lihat, namun bahagia ku sudah sangat membuncah. Kalian, meraka, dan aku, bersama di satu ruang penuh keajaiban. Menyatukan sekian banyak hati dengan berbagai kisah dan kasih.

Empat hari berlalu begitu cepat dengan segala riuh ramai kita. Perjalanan yang tak pernah sepi dari suara tawa dan celoteh kalian. Aku bingung bagaimana bisa aku mengabadikan semua ini. Tapi aku memilih mengurangi intensitas penggunaan kamera. Biar mataku mengabadikan setiap gerak kalian, biar telingaku mendengar setiap kata dari kalian, biar memoriku merekam semuanya hingga sempurna. Kalian tau, ada sebuah detail yang tertangkap dari setiap kepribadian kalian.

Kalian, terimakasih sudah hadir, menemani dan mengantar. memberiku kebahagiaan yang tak terhitung. Kalian yang mengantarku dengan senyum, terimakasih. Biar rindu yang mengantarku kembali. :')

Tuesday, 3 September 2013

Coba Lihat, Dengar, dan Pahami

Masih enggan sang mentari membagi cahayanya, namun sudah ramai saja seseorang membagikan semangatnya. Di gelap dan dingin pagi seusai subuh ini terlihat sosok wanita paruh baya sudah sibuk dengan beberapa panci, termos, dan beberapa cangkir kosong khas "tea time". Di rumah ini, ia biasa dipanggil dengan sebutan ibu. Bukannya kembali ke tempat tidur karena terlalu lelah semalam, ibu justru bangun lebih awal untuk menyiapkan semuanya.

"Nak, ayo bangun. Sudah jam lima lebih. Seingat ibu, kamu kuliah pagi, kan, hari ini?" Ibu mencoba membangunkan anak tunggalnya, Anya.

"Hm," Anya menjawab singkat dan tidak jelas karena masih terlalu nyaman di balik selimut.

Setelah Ibu keluar dari kamarnya, Anya segera beranjak ke kamar mandi dan segera bersiap. Tidak banyak yang Anya lakukan karena ia termasuk gadis berambut panjang yang acuh pada penampilan. Ia biasa pergi ke kampus dengan kemeja, celana jeans, sneakers dan rambut panjang diikat sekenanya. "Ibuuuu, apa ibu lihat map Anya yang warna kuning? Kemarin Anya taruh disini," tanya Anya sambil menunjuk ke meja di ruang tamu lalu sibuk mencari-cari.

"Anya sarapan dulu. Mapnya sudah ibu simpan. Ibu takut mapnya hilang, jadi ibu taruh di meja kerja abi," jawab Ibu lembut.

Fyuuhh, lega sekali hati Anya. Ia tersenyum, menghampiri sang Ibu dan mencium pipi kiri Ibu, "Terima kasih Ibu sayang. Abi mana bu? Yuk sarapan."

Tiga orang di satu meja, menghabiskan sarapan masing-masing sambil bercerita. Kemarin Abi menyelesaikan berkas yang tertunda di ruang kerja, menemani Ibu makan, kembali ke ruang kerja, lalu menunggu Anya pulang. Sedangkan Anya seperti biasa sibuk dengan kuliah dan kegiatannya di kampus lalu sampai rumah yang tersisa hanya lelah dan langsung menuju tempat tidur, begitu setiap harinya. Dan Ibu, jawabannya hanya "Ibu kan sudah paten di rumah, cuma sedikit kok pekerjaannya." Lalu Ibu tersenyum.

---------------------------------------

"Assalamualaikum, Ibuu.. Abi.." Anya masuk rumah dan menaruh sepatu di dekat sofa. 

Setelah bersantai selama lima menit, Anya baru sadar bahwa ia belum mendengar jawaban dari Abi dan Ibunya. Anya mencari sekeliling rumah, namun Abi dan Ibu juga tidak ada. Segera Anya menelepon Ibu, tapi tidak biasanya telepon genggam Ibu justru tergeletak di meja makan. Lalu ia menelepon Abi, menunggu nada sambung berubah menjadi suara Abi. Tidak pernah Anya sekhawatir ini. 

"Assalamualaikum, Nak," syukurlah Abi segera menjawab telepon Anya. 

"Waalaikumsalam, Abi. Abi sama Ibu dimana? Kenapa telepon ibu ditinggal? Abi dan Ibu baik-baik, kan?" tanya Anya tanpa henti dan tidak memberikan kesempatan pada Abi untuk menjawab. 

"Anya, dengar Abi, Nak. Abi baik-baik saja. Abi masih bisa angkat telepon Anya. Tapi Ibu...," Abi menghentikan kalimatnya. Membuat Anya semakin khawatir.

"Ibu kenapa, Bi?"

Suara Abi terdengar semakin berat, "Ibu tadi pingsan saat menyiapkan makan malam. Kata dokter, Ibu terlalu lelah dan sebetulnya sudah beberapa kali ke puskesmas tanpa sepengetahuan Anya. Apalagi Ibu punya darah rendah. Mungkin sudah waktunya Ibu istirahat dulu. Tapi nanti Abi dan Ibu pulang. Anya bisa siapkan makan sendiri, nak?"

"B..i..s..a.. B..i..," jawab Anya yang tak mampu lagi berkata-kata.

Setelah menutup telepon Abi, Anya masih terdiam di sofa, menyandarkan tubuhnya. Anya berfikir, Anya selalu berangkat pagi dan pulang malam. Tapi ia baik-baik saja. Padahal kegiatannya di kampus cukup menguras tenaga dan pikiran. Mengapa Ibu yang hanya di rumah bisa sakit? Anya mengedarkan matanya ke seisi rumah. Bersih, tidak pernah kotor sedikitpun. Ini, ya..ini yang Ibu lakukan. Ibu tak pernah sedikitpun mengabaikan rumah, Abi, dan Anya. 

Anya tidak pernah tahu apa yang Ibu benar-benar lakukan. Bagaimana lelahnya membersihkan seisi rumah setiap harinya. Yang Anya tahu, Anya selalu menikmati masakan Ibu yang enak setiap pagi, Anya kuliah, dan Anya lelah saat pulang malam. Ibu selalu bertanya apa ada yang bisa Ibu bantu atau sekedar Ibu dengar ceritanya. Namun Anya tidak pernah sedikitpun bertanya apa yang Anya harus lakukan untuk meringankan pekerjaan Ibu di rumah.

Malam itu juga Anya sedikit saja menghilangkan rasa lelah sisa-sisa kegiatan hari ini. Setelah membersihkan diri, ia langsung menuju ke dapur dan menyiapkan apa saja yang bisa ia masak. Tidak lama setelahnya, Abi dan Ibu pulang. Mereka makan bersama dengan menu seadanya dan rasa yang ada-ada saja masakan Anya. 

"Ibu, Anya punya banyak cerita. Hari ini Anya berkegiatan, tapi Anya mulai suka di dapur sepertinya, jadi biar Anya yang menyiapkan sarapan besok pagi dan seterusnya. Dan Anya akan pulang lebih awal untuk menyiapkan makan malam....,"

Anya bercerita tanpa henti hingga membuat Abi dan Ibu hanya bisa tersenyum mendengarnya. "Terima kasih, cantik. Tapi Anya kan sibuk," kata Ibu. 

"Lebih baik Anya sibuk di rumah tapi Ibu sehat daripada Anya sibuk diluar tapi Ibu sakit begini."

---------------------------------------

Ibumu pasti mengerti kalau kamu sibuk, tapi mengertilah bahwa Ibumu sudah tua.

Thursday, 29 August 2013

anonymous

Ingatkan aku tentang satu momen di tahun lalu, satu tanggal di tahun ini, satu rencana di tahun depan, dan satu mimpi di tahun berikutnya.

Aku pernah berkata tentang hati, cinta, suka, dan harapan, meski tak bersamamu. Namun ternyata bersamamu aku temukan bahagia, kejujuran, dan rasa yang apa adanya. Aku tak pernah memaksanya ada. Bahkan saat kita tak bersama, beberapa bulan lalu. Masih selalu ku selipkan namamu dalam doaku, bukan berharap kamu ada tapi berharap kamu baik-baik saja.

Kamu, laki-laki yang pernah membuatku berada di atas awan, lalu menghempaskanku. Laki-laki yang jarang sekali menatap mataku, apalagi berbincang denganku. Aku hanya tau tentang kamu dan studi yang sedang kamu jalani. Aku tak pernah ingin tahu kemana kamu pergi saat itu, meski aku tau kamu punya tujuan. Ku biarkan kamu cari bahagiamu, semangatmu. Namun rupanya kamu tak pernah bahagia, begitu katamu.

Dan kamu kembali, dengan segala tingkahmu yang berbanding terbalik dari tahun lalu. Semua ucap mesra yang tak henti menjadi bunga hariku serta tatap mata yang mulai sering ku lihat. Aku tahu ada harapan disana, meski sempat aku berfikir untuk menjauh tapi aku tak mampu. Aku memang pernah terjatuh karenamu, dan cinta yang menguatkanku untuk bertahan sampai saat ini.

Selesaikan studi secepatnya. Lalu kembalilah dalam mimpi-mimpi masa depanmu, mungkin kita. Jangan pernah berhenti tersenyum dan tertawa karenaku. Dan semoga airmata itu.....airmata kebahagiaan. Sungguh aku tak mampu membayangkan jika aku yang membuatmu menangis, maafkan aku. Ingat janji kita untuk tetap saling mengingatkan, bicara, ada, dan bertahan. Semoga.

Terimakasih untuk semua perlakuan istimewa yang tak pernah terbayang sebelumnya.

:')

Thursday, 22 August 2013

Dalam Pelukan

Aku melihat satu laki-laki melewati ruanganku, orang yang sama dengan kemarin dan hari-hari sebelumnya. Biasanya di pagi hari begini ia memasuki semua ruangan yang ada di bangunan ini. Sengaja aku tak menyapanya, sudah terlalu sering mungkin justru membuatnya bosan nanti. Berjalan ke luar ruangan, masih segar sekali dan aku menyukainya. Hanya di pagi hari begini aku ingin keluar kamar sebelum tempat ini penuh dengan banyak orang yang selalu mencari-cari.

"Hey, Mel. Segar sekali pagi ini ya," sapaan laki-laki itu membuyarkan ketenanganku.

"Iya, seperti pagi-pagi yang lalu, kan? Sebelum dia datang," jawabku pelan.

"Kamu masih tidak ingin menemuinya, Mel?" ia menanyakan sesuatu yang paling aku benci.

Aku hanya terdiam, merasakan kecambuk perasaan di hatiku sendiri serta segala hitam yang membuatku seperti ini. Masih haruskan aku bertemu dengannya? Masih pantaskah aku? Ini bukan lagi perkara rindu dan ingin bertemu. Sungguh aku tak pernah menyangka akan ada di tempat ini yang akhirnya membuatku sengaja mengasingkan diri, meski mereka datang.

"Mel, memangnya ada apa? Ia merindukanmu. Hampir setiap hari ia datang kesini untukmu."

"Aku pun merindukannya, tapi aku punya alasan sendiri kenapa aku tidak ingin menemuinya. Apa kamu ingat dulu banyak sekali yang datang kemari untukku? Sekarang hanya dirinya, dan aku yakin sebentar lagi ia bosan dan mundur perlahan," tanpa ku sadari aku berair mata.

"Tidak akan. Ia pernah mengorbankan hidupnya untukmu bertahun lalu, dan aku yakin ia tidak akan menyerahkan keputus-asa-annya hanya karena kau tidak menemuinya. Temuilah, meski hanya tiga menit. Kamu rindu, bukan?" kata-katanya mulai menegas namun tetap lembut.

Laki-laki itu meninggalkanku sendiri tetap di depan ruanganku, berdiri dan berair mata. Tak jarang aku menangis, hanya saja ini kali pertamaku menangis karena rindu. Aku dapat merasakan bahwa aku benar-benar merindukannya. Aku sering mendengar suaranya memintaku membukakan pintu untuknya namun aku tak lagi melihat sosoknya. Sosok yang tak pernah lelah datang dengan serantang makanan untukku. Aku merasakan masakannya namun lagi dan lagi aku tak melihat bagaimana binar wajahnya setiap saat.

Sebentar lagi ia pasti datang dan aku masih berpijak disini tak ingin masuk ke ruangan lagi. Mungkin memang ini saat yang tepat untuk menemuinya. Aku sungguh rindu melihatnya berjalan, tersenyum, membelai wajahku. Sengaja aku menunggunya pagi ini setelah perbincangan dengan laki-laki tadi. Semoga ia masih ingin datang.

Di kejauhan aku melihatnya, dia yang sungguh aku rindukan. Aku tak dapat mengingat berapa lama aku menghindarinya dan aku tak dapat melihat rona bahagia di wajahku saat ini. Namun sepagi ini aku disuguhkan dengan pemandangan yang sungguh indah, melihat wajah serupa bidadari surga. Mengenali caranya berjalan yang sungguh mengagumkan. Secepat kilat ia mendekat, meletakkan rantang yang dibawanya di kursi yang ada di sebelahku. Dan pelukan itu mendarat di tubuhku.

"Melisa rindu ibu, sungguh," masih di pelukannya aku tersedu.

"Ibu juga rindu Melisa. Kamu tambah cantik ya, Nak. Sudah lama ibu tidak melihatmu, memelukmu seperti ini. Apa salah ibu hingga Melisa tidak pernah ingin menemui ibu? Ibu minta maaf," kata ibu yang masih memelukku dan menangis.

Aku melepaskan hangat pelukan ibu lalu berlutut di hadapannya, bersujud di kakinya, "Melisa malu, bu. Melisa malu sudah mempermalukan ibu. Apa ibu tidak malu setiap hari datang ke panti rehabilitasi narkoba seperti ini? Apa kata orang diluar sana, bu? Maafkan Melisa. Tolong maafkan Melisa telah membuat ibu malu."

Ibu membangunkan aku dari sujudku dan berlutut di depanku, lalu membenamkan aku dalam pelukannya. Perlahan sebuah jawaban terlantun indah, "Melisa Kusuma Firdausi, dengarkan ibu, Nak. Apapun yang terjadi, kamu...tetap...anak...ibu."

Saturday, 17 August 2013

Selamat Datang dan Selamat Jalan

Selamat Datang di Kota Apel, Bang Faizan, Teteh Deti, dan Mba Upay.

Itu kalimat yang tanpa sengaja ku ucap dalam hati, 15 Agustus 2013 di rumah tercinta. Pagi ini, aku menunggu seorang menjemputku untuk menemui mereka. Tak sabar rasanya menanti jam keberangkatan dan penyambutan. Surabaya-Malang dalam 4 jam, lalu Malang-Goa Cina dalam 3 jam, total 7 jam perjalanan hingga aku benar-benar melihat sosok mereka. Saling sapa, senyum, salam dengan mereka, tak lupa ku kenalkan lelaki yang bersamaku saat ini.

Kegiatan hari ini dimulai dengan MAKAN!! Bang Faizan, Mas Fikry, Faris Digory, Faris Kasela (begitu kami menyebutnya), Teza, Teh Deti, Mba Upay, Intan, Aditya di satu meja. Senang tiada tara bisa melihat senyum mereka semua. Lalu kami memutuskan untuk MAIN AIR. Sebetulnya di bayanganku, main air adalah berjalan di bibir pantai sembari membasahi kaki, namun rupanya tarik-menarik hingga basah dari kepala hingga kaki lebih seru, bersama orang-orang tersayang.

Tak terasa sudah mendekati maghrib, maka kami memutuskan untuk berhenti main air, berbenah diri, shalat, lalu pulang. Maaf ya Intan harus lekas pulang ke Surabaya karena ada yang menunggu di rumah. Semoga makan malam kalian menyenangkan dan sampai bertemu lagi.

---

Hiduplah Indonesia Raya...

Selamat Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2013.

Hari ini Bang Faizan, Teh Deti, dan Mba Upay harus kembali ke kota tercinta. Tidak ada keinginan lain hari ini selain bertemu dan membahagiakan mereka, meski sejenak. Bersama Talitha dan Dek Shafa aku ke Tugu Pahlawan, Surabaya, menanti mereka. Menyempatkan diri untuk berpose di depan kamera. Setelahnya kami makan di Plaza Surabaya, maaf ya jauh-jauh dari mamakota tapi diajak ke Mall. Waktu berjalan begitu cepat bagi yang sedang bergembira.

Ya, kami sangat gembira melewati waktu bersama hingga jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Tandanya kami harus bergegas ke Stasiun Pasar Turi. Setelah shalat dan "haha hihi" sejenak, tiba saatnya mereka pulang. Meski salah masuk pintu stasiun, namun itu yang menjadi nikmat kami hari ini. Tawa dan canda menyelimuti kecambuk di hati masing-masing.Jika mampu aku katakan, maka akan aku katakan "bisakah perpanjang waktu kalian disini?".

Perpisahan, pulang, ini saat-saat yang aku paling tidak sukai. Harus melihat mereka menjauh. Ada rasa ingin menangis, namun aku ingin mereka melihat senyumku sekali lagi. Dan aku yakin tak ada perpisahan tanpa kesan. Kami berpisah untuk bertemu lagi, bukan? Abang, Teteh, Mba, terimakasih sudah berkunjung ke kota ku, maaf jika ada yang kurang berkenan untuk kalian. Semoga tiga hari cukup membahagiakan kalian. Tunggu aku di kota kalian dan kota ini akan selalu meyambut kalian dengan kegembiraan.

Abang, Teteh, Mba.. Selamat datang di keluarga Jawa Timur dan menjadi bagian di dalamnya. Serta selamat jalan ke kota lainnya. Sampaikan salamku untuk kawan-kawan beserta segala senyumannya. Akan aku rindukan saat-saat kita berbagi berita dan Cerita.

:')

Friday, 16 August 2013

Rumah Impian

Hanya satu tempat yang akan ku tuju pada akhirnya untuk pulang, rumah.

Sudah menginjak tahun ke delapan aku berada di rumah ini. Satu per satu penghuninya datang dan pergi. Ada yang datang dengan sangat misterius, ada yang datang dengan tangisan, ada pula yang dengan tawa karena diajak oleh penghuni lainnya. Tapi beberapa sudah pergi, ah bukan pergi, hanya saja sudah menemukan bahagianya diluar sana. Mereka dijemput oleh orang yang belum benar-benar mereka kenal sebetulnya. Orang diluar sana sering menyebutnya dengan "diadopsi". Apapun itu, satu keyakinanku bahwa mereka akan mendapatkan kehidupan yang lebih layak bersama orang tua baru mereka. 

Senang dan sedih, bergantian ku rasakan. Tak jarang aku menangis kehilangan dan memberikan senyum sambutan di rumah impianku ini. Mungkin ini yang dirasakan oleh Ibu Rubi bertahun lalu saat aku masih diasuh olehnya di Panti Asuhan Aisyah. Dua puluh tahun aku berada di rumah itu bersama kawan-kawanku. Hingga aku lulus sekolah dan mendapat kerja, hingga dapat mendirikan Rumah Singgah Aisyah ini Sengaja aku memberi nama yang sama agar memberikan kenyamanan yang pernah ku rasakan sebelumnya. Bu Rubi memang sudah tak ada, namun jasa dan kebaikannya akan selalu terkenang dan ku persembahkan Rumah Singgah ini untuknya.

Sejak umur empat belas tahun, aku bermimpi untuk memiliki rumah singgah untuk anak-anak terlantar. Menyusuri setiap ruangan rumah ini, melihat beberapa anak berlarian di taman. Mendadak sekali ada satu yang ingin ku pertanyakan pada dua puluh empat anak disini. Aku panggil nama mereka dan ku kumpulkan semua di ruang belajar. Tanggap anak-anak mengambil kertas dan pensil yang sudah ku persiapkan di meja masing-masing. Sreett, Ciiit, papan dan kapur mulai beradu karena aku menggoresnya,

"Rumah Singgah Aisyah adalah rumah impian bunda. Bagaimana rumah impian kalian?"

Mataku mulai melihat sekeliling ruangan, Subhanallah ini anak-anakku, aku sangat menyayangi mereka. Aku mulai berjalan menghampiri mereka satu-persatu. Berbagai jawaban yang mereka tulis tentang rumah impian mereka. Ada yang ingin memiliki rumah sederhana dan hangat, ada yang ingin memiliki rumah dengan taman yang luas, ada yang ingin memiliki rumah seperti artis-artis ibukota yang harganya milyaran. Namun satu pemandangan berbeda saat tiba tepat di bangku ketiga dari depan. Seorang anak perempuan berusia dua belas tahun, Puti namanya, belum menuliskan apapun di kertasnya. Aku coba bertanya mengapa ia tak menulis.

Puti mulai melihat ke arahku dan bertanya, "Apa bunda akan mengusir Puti dari rumah ini?"

"Tidak, nak. Bunda hanya ingin tahu rumah impian kalian, termasuk Puti. Siapa tahu nanti ada yang menjemput dan mengajak Puti ke rumah impian," jawabku tegas.

Matanya berkaca, namun jawabnya tetap tegas, "Bunda, bisa berada di rumah ini saja Puti masih merasa seperti mimpi, apa pantas Puti memiliki impian lain? Jika pantas, Puti bermimpi tetap menjadikan rumah ini sebagai impian Puti, bersama Bunda."

Mataku terpejam, memeluk gadis menggemaskan ini, merasakan detak jantungnya. Jangan tinggalkan Bunda, Puti. Bunda menyayangimu, juga teman lainnya. Terimakasih atas jawaban tegasmu. Dan mulai detik ini, aku bertekad akan menjadikan rumah ini tetap sebagai impianku, bersama anak-anakku. Ku seka airmata, melihat jatuh tepat di mata Puti sembari memberikan senyum, dan ku lanjutkan melihat jawaban lainnya dengan segala mimpi-mimpiku untuk mereka.

Rumah Singgah Aisyah, bersama mereka yang ku cinta. 

Tuesday, 13 August 2013

Sisa yang terkenang

Tak ada pertemuan yang tak terkenang, dan tak ada kenangan yang terlupakan.

Surabaya, Agustus 2010
Terik tak pernah mengalah. Selalu saja menyisakan peluh di tubuhku, aku tak begitu menikmatinya. Demi sampai di rumah orang kesayangan aku terus mengayuh sepedaku. Pakaian sudah lusuh oleh keringat dan debu. Tapi aku harus sampai disana. Tak ada yang menantiku disana, tapi bagian depan rumah itu selalu mengundangku setiap tahunnya. Karena kenangan.

Aku berhenti sejenak, menghela nafas panjang dan menenggak minuman dari si biru. Sekilas terbayang semua kenangan itu. Selalu melewati waktu berdua bersama diluar rumah, di hamparan hijau dengan beberapa pot anggrek dan tanaman lainnya. Taman yang menyimpan milyaran cerita, antara aku dan nenek. Taman yang tak pernah berhenti melindungi kami berdua dari terik. taman yang selalu menyambutku dengan hembusan angin tenangnya. Bukan rumah, hanya taman rumah. Aku mengerti akan ada yang berbeda jika hari ini aku datang kesana. Tak akan ada lagi cerita-cerita yang menakjubkan itu. Aku akan sangat rindu.

Sudah satu tahun nenek kembali ke sisi Allah, Sang Pencipta. Aku tak pernah menyangka jika tahun lalu adalah tahun terakhir taman itu menjadi rumah bagi kami dan segala ceritanya. Jika aku punya pilihan lain, aku memilih untuk tak datang. tapi taman mengundangku, dan akan menyambut kedatanganku nanti, pasti. Ku lanjutkan mengayuh sepedaku, mencoba berdamai sedikit saja dengan terik. Lima, sepuluh, limabelas menit berlalu.

Sudah terlihat hijau yang menggoda dari kejauhan. Pagar yang tak benar-benar menutupi keindahannya. Aku percepat laju sepedaku. Hosh Hosh, nafasku mulai tersengal, tapi si hijau terus menggoda pandanganku. Ada pemandangan yang berbeda, ramai sekali disana. Segerombol manusia tampak sedang melihat-lihat ke dalam rumah. Beberapa pertanyaan berlalu-lalang, salah satunya "Apa tamanku sudah menjadi taman nasional hingga sudah boleh dikunjungi banyak orang?" Menerka, mengira, hingga sepedaku berhenti tepat didepan pagarnya. Dan...ada satu tulisan disana. Tak percaya aku membacanya.

"DIJUAL!!!"

Hatiku bagai kepala tentara yang tertembak, terlindas kendaraan berat, terinjak, HANCUR. Tangisku tak tertahankan. Tamanku, taman nenekku, taman anggrekku. Aku mengenali mereka semua dan mereka pun mengerti mengapa aku menangis. Salah satunya memelukku. Tak ada yang dapat aku lakukan, bahkan untuk melangkah pun aku tak mampu. Sudah kehilangan nenek, dan sekarang akan kehilangan taman kami. Lemah, pelan, berbisik ku katakan pada mereka,

"Jangan kau jual kenanganku, nenek dan anggrek, aku mohon."

Friday, 9 August 2013

Pulang



Jejak rindu mulai samar
Segala ucap serta laku tak henti menjadi bayang
Satu harap selalu memancar
tak pernah menjadi remang
apalagi pudar

Menanti satu masa
Entah kapan akan menjadi nyata
Jika memang hanya dapat menjadi rasa
Biarlah tetap berwarna
hingga sempurna

Ingat satu janji yang sempat terucap
Bahkan di setiap cakap
tak samar, tak membayang, tak remang
Terang
Masih ingin janji itu terulang
Pulang

Pulanglah, kembalilah
jangan biarkan hati mulai terbelah
Pecah
Rinduku tak terbantah
Rasaku tak lagi mengalah
Pulanglah

Thursday, 8 August 2013

Biar Hatiku Bicara

"Harus berapa kali lagi aku katakan, aku masih sayang kamu. Sampai sekarang," ucapku pada pria yang terus saja menolak untuk melihat ke arahku.

"Cukup!!! Aku tak ingin dengar kata itu lagi! Bisa kamu hilangkan kalimat itu?" jawabnya.

Aku tersentak. Dia, pria yang menemaniku bertahun-tahun. Dia yang tak henti menjadi senja dan fajar untukku. Tega sekali ia bicara dengan nada sekasar itu. Bahkan ia memintaku untuk berhenti mengatakan kalimat kesukaannya. Apa ia sudah berhenti menaruh hatinya padaku? Bahkan tak bersisa? Hatiku seperti di lempar ke pulau terjauh dari tempatku berpijak. Jika memang tak ia berkenan lagi dengan semua ini, biar hatiku yang bicara.

Aku sudah menyanyi
Tapi kau tak lekas menari
Aku pun sudah menangis
Tapi kau tak juga peduli
Haruskah aku menyanyi sambil menangis?

--------------------

"Cukup!!! Aku tak ingin dengar kata itu lagi! Bisa kamu hilangkan kalimat itu?" jawabku.

Astaga. Apa yang sudah aku lakukan? Sentakanku pasti membuatnya terkejut. Maafkan aku, gadisku. Aku pun masih menyayanginya, hingga saat ini. Namun apa yang bisa kita lakukan? Dia sudah mendekati hari bahagianya, cincin akan segera tersemat di jari manisnya. Aku tak ingin merusak segala rencana orang tuanya ini. Sudah tidak seharusnya ia menyayangiku setelah perjodohannya dengan pria pilihan orang tuanya. Jika memang ada tembok yang membatasi kita, biar hatiku yang bicara.

Aku memujanya
Bayang semu yang redup
Namun terang mimpinya, cintanya
Selalu menjadi nyata bagiku
Aku mencintanya
Gadis yang selalu memukau

---------------------

"Maaf," ucapnya lagi.

"Maaf untuk apa? Apa salahmu? Aku yang salah. Aku sudah dipilihkan pria terbaik oleh ibu dan ayah tapi aku masih saja menyayangimu, maaf," jawabku lirih.

"Maaf untuk nada tinggiku, maaf karena aku tak pernah bisa mempertahankanmu, maaf karena aku tak pernah membahagiakanmu," ia berkata tanpa berfikir sedikitpun. Semua mengalir begitu saja.

Aku tak tahu harus bahagia atau sedih. Kalimat terakhirnya membuatku mengerti bahwa ia pun menyayangiku. Aku pun mengerti tak akan ada yang bisa ia lakukan untuk mempertahankanku, sama. Aku tak akan memaksanya, biar rasa ini masih disini. Aku sudah memutuskan, bersama kedua orang tuaku. 

"Tidak. Kau sudah mempertahankanku hingga detik ini. Sadarkah kau selalu menemaniku? Membahagiakanku. Terimakasih karena selalu ada." berjuta terimakasih yang belum terucap, ia pasti tahu.

"Terimakasih sudah mempercayaiku. Berjanjilah padaku kau akan bahagia, bersamanya." pintanya padaku. Mungkin akan jadi permintaan terakhir darinya.

Aku tak kuasa menahan air mata. Sudah cukup rasanya aku mendengar cap cip cup salam perpisahan yang terucap. Aku memeluknya, pria impianku, namun bukan impian orang tuaku. Aku ingin bahagia kali ini, sekali saja. Ia juga pasti bahagia dalam pelukku, ku pertahankan. Biar aku seperti ini terus memeluknya. Biar aku membahagiakannya sementara saja jika tak mungkin selamanya. Biar aku bahagia dengan kecambuk di hatiku. Andai saja kata itu terucap, mungkin bahagiaku kan melebihi segalanya meski nantinya harus berpisah. Tak ada lagi yang mampu ku ucapkan, hanya peluk dan isak tangis.

"Biar hati kita yang bicara," aku putuskan ini kata terakhir dariku, masih menunggu jawaban darinya, pria impianku.

"Aku menyayangimu, hatiku yang bicara," terbata ia mengucapkannya, menyisakan senyum dalam tangisku. 

Aku pun menyayangimu, ucap hatiku tanpa lisanku.

Tuesday, 6 August 2013

Thanks for This

Sore yang perlahan pergi, meninggalkan sisa, jingga. Sayup ku dengar suara angin, menentramkan hati yang tengah cemas menanti. Mengapa ia tak kunjung datang? Lupakah tentang janji hari ini?

"Sayang", suara itu membuyarkan lamunanku. Akhirnya ia datang, terimakasih Tuhan.

Sosok lelaki tinggi dengan kaos hitam, warna favoritnya, datang di hadapanku. Tersadar ada empat mata yang saling menatap dan dua bibir yang tak henti tersenyum. Masih dengan posisi semula, diatas bangku kayu tempat kami biasa berbagi cerita, untuk sekedar menatapnya pun aku bahagia. Tanpa kata, tanpa bicara, tanpa isyarat, mungkin ia tak mengerti betapa berartinya rasa indah ini setiap aku bersamanya, yang ia pahami hanya aku selalu menunggunya datang. 

"Sudah? Berangkat sekarang, sayang?" tanya lelaki kesayangan.

"boleh," jawabku singkat.

Mobil melaju dengan kecepatan rendah, aku masih terus menatapnya, berharap akan ada hari esok untuk kembali menatap teduh matanya. Kami menuju tempat yang ku harap membuatku nyaman untuk berlama-lama di dalamnya.

------------------------

"Assalamualaikum," salamku pada pemilik rumah.

"Waalaikumsalam, oooohh ini pacarnya mas," aku terkejut, ada sosok tampan kira-kira berumur 10 tahun menjawab salamku dengan mata berbinar.

Rupanya ada orang lain yang menungguku, di dalam rumah. Seorang wanita berbadan mungil, cantik, matanya pun mengisyaratkan sesuatu yang aku belum bisa menangkapnya hingga detik ini. Tanpa ku sadari aku melupakan lelaki kesayangan karena terlalu mengalir dalam ombak perbincangan keluarga hangat ini. Dimulai dari pernyataan dan pertanyaan ringan, hingga beberapa pesan untuk kedekatanku dan dia. 

Sudah enam puluh delapan menit aku disini dan masih saja lelaki 10 tahun ini bergelayut manja di lenganku sembari mengajakku bermain. Aku memang tak paham dengan permainannya, tapi aku paham si kecil ini ingin menunjukkan kesukaannya padaku, cerdas. Jam makan malam pun tiba, sejak tadi sampai saat ini, wanita berbadan mungil memberiku sebuah amanah dan aku berharap aku mampu menjalankannya. 

"Iya, begitulah, nak. Sampaikan padanya tentang apa yang saya ingin. Saya harap dia mau mendengarkanmu," ucapnya lirih namun penuh harap.

"InsyaAllah, atas ridho Allah ya, saya akan coba sampaikan," jawabku berharap sedikit menenangkannya.

"Terimakasih," senyumnya tersungging. Ada sedikit lega di hatiku.

"Kalau begitu saya pamit pulang, sampai bertemu lain waktu," balasku sembari berkata dalam hati, -saya akan merindukan keluarga ini-

-------------------------

"Sayang, ada apa? Memikirkan sesuatu?" tanya lelaki kesayangan ini.

"Tidak. Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu, amanah, dari bunda dan adik-adikmu, sayang,"

Semua pesan mengalir begitu saja, sedikit nada manja dan merayu berharap ia akan meng-iya-kan permintaan-permintaan ini. Ragu menyapa, masih saja ku lanjutkan demi membahagiakan keluarga yang baru saja ku temui. Aku merasa memiliki tanggung jawab tentang ini. Beberapa kali ia menghela nafas panjang tanda keberatan, aku hanya tersenyum. Sampai aku yakin "iya" darinya bukan hanya sekedar kata. Dan sedikit harap, "Tuhan, bantu aku meyakinkannya. Bantu ia ikhlas".

Perjalanan yang tak seberapa jauh terasa lama karena suasana menegangkan ini. Sedikit perdebatan menghiasi bincang malam. Emosi, cinta, bahagia, harap, cemas, rindu, menyatu dalam hatiku, mungkin juga hatinya. Ku tajamkan mataku ke arahnya yang sedang memperhatikan jalanan, aku suka menatapnya, aku selalu rindu untuk menatapnya seperti ini. Sempat ia bertanya bahagia kah aku? Apa orang tuanya membebaniku? Aku hanya tersenyum. Mataku memancarkan cemas, namun hatiku melompat kegirangan. 

Mobil putih ini berhenti tepat di depan rumahku. Aku tak segera beranjak, masih mencari alasan untuk tetap menatapnya. Menanyakan beberapa hal dan diam, kembali menatapnya. Indah senyumnya, teduh matanya, aku kan segera merindukannya, lagi. Mau tak mau aku harus turun, kembali ke rumah. Namun ia tak tau, aku sudah menuliskan sebuah ringkasan perjalanan untuknya, beserta jawaban-jawaban atas semua pertanyaannya.

"Terimakasih untuk tatap mata yang selalu teduh, untuk senyum yang selalu menenangkan, untuk ucap yang selalu meyakinkan, untuk keluarga baru yang ku sayang sejak aku mengucap salam. Sayang, sampaikan salamku untuk ayah, bunda, dan adik-adikmu. Kau tau, tak ada lagi yang membebani pikiranku. Karena bahagia adalah.....saat aku menemukan keluarga baru yang hangat, saat aku berbincang dengan dua adikmu, saat dapat menyayangi bukan hanya pribadimu tapi juga keluargamu. Terimakasih untuk malam yang indah ini."

Berharap lelaki kesayangan lekas membacanya dan tersenyum lega setelahnya. Tuhan, terimakasih untuk nikmatMu yang luar biasa ini. Aku bahagia.

Saturday, 27 July 2013

Question!!!

"Kakak, nanti setelah belajar, temani ibu belanja ya, nak," ucap ibu.

"Ya, bu."

Panas sekali rupanya hari ini. Harus berdiri belasan menit untuk menunggu angkutan yang akan membawaku dan ibu ke pasar datang. Sudah delapan belas tahun usiaku, namun ibu selalu menggenggam tanganku sepanjang jalan. Seakan begitu takut kehilangan aku. Jika aku mengeluh karena merasa diperlakukan seperti anak kecil, ibu selalu menjawab ibu tak ingin kehilangan harta yang paling berharga. Kami memang tinggal berdua di rumah, aku dan ibu. Tatap dan ucap yang selalu meneduhkan dari ibu tak pernah henti ku nikmati setiap harinya. Wanita yang tak pernah henti menyunggingkan senyumnya untukku. Disini aku teringat pada tanya dan gores yang pernah ada dalam diriku.

--------------------------

Siapakah dia?
Tak pernah ada gambarnya 
Bahkan tak tersebut namanya
Kapan aku dapat bertanya?
Dan akankah aku mendapat jawabnya?
Mungkin..
Siapakah dia?
Ijinkan aku menjadi pemujanya
Menjadi seorang yang mengaguminya
Merasa aman berada di dekatnya
Ijinkan aku tau jawabnya,
nanti

--------------------------

Menyusuri tempat kesukaan para ibu ini, aku suka. Hingga penuh keranjang kami, hingga lelah kaki kami, hingga naik semangat kami untuk segera sampai di rumah dan mengolah semua bahan ini. Tak butuh waktu lama untuk sampai di rumah, namun tanya ini terus berkeliaran di sarang pikiranku. Ku lihat wajah ibu yang masih tersenyum sembari merebahkan badan di sofa depan.

"Ibu, boleh kakak bertanya sesuatu, bu?"

"Boleh, tumben anak ibu ini serius sekali. Ada apa? Sini," kata Ibu sembari menggeser posisi duduknya dan menggenggam tanganku.

"Ibu, boleh aku tau, siapa ayahku?"

Ada kecemasan di wajahnya, berubah menjadi raut sedih. Lalu ibu memelukku.Lama sekali ibu menjawab pertanyaan ini. Aku masih menunggu, dan merasakan ada air jatuh di pundakku. Ku lingkarkan tangan pada tubuh ibu, dan meminta maaf dalam hati. 

"Maaf, nak. Ibu terlalu liar untuk tau siapa, lelaki mana yang sebenarnya ayahmu. Maafkan ibu"

Monday, 22 July 2013

Hampir Genap

Yogyakarta, kota yang selalu istimewa dan penuh kenangan. Disini, kota yang bisa disebut sebagai ibukota kebudayaan, aku singgah untuk sebulan. Tidak terasa sudah dua puluh delapan hari aku disini, tinggal dua hari lagi. Ada rasa bahagia aku menyambut tanggal kepulanganku, ke rumah. Ada juga rasa sedih harus meninggalkan kota ini dan semua yang sudah menemaniku disini, juga pekerjaan yang sudah mulai aku nikmati. Dilema, pulang atau tidak, pulang atau tidak. Ah pulang saja lah. Aku rindu rumah, mama, papa, mbak dan adek. Sering sekali aku mengeluh ke beberapa teman bagaimana inginnya aku pulang, bagaimana rindunya aku pada kota pahlawan, Surabaya. Bukan karena aku tidak betah disini, aku sangat betah, cuma rinduku lebih mendesak di hati.

Hampir genap sebulan aku tinggal di rumah Mba Nurul. Teringat sebulan lalu waktu Mba Nurul mengatakan aku tinggal di rumahnya saja, Mba Nurul tidak mengijinkan aku untuk kos disana. Dua puluh enam hari aku tinggal bersama Mba yang baiknya luar biasa ini. Makan berdua, berbagi cerita, hampir setiap hari Mba Nurul antar-jemput aku ke tempat kerja. Aku merepotkan ya Mba, hhehe.. Dan beberapa pertanyaan dari Mba Nurul yang akan selalu ku ingat :

1. Besok masuk jam berapa, dek?
2. Pulang lebih cepat atau ontime?
3. Ada rencana atau rikues kemana hari ini?
4. Deymen, mau makan apa hari ini? Ada rikues?
5. Buka puasa dan makan di rumah atau sama yovi nuno (sebutan untuk dua     temanku dari Surabaya) ?
6. Dek, mulih dewe sanggup?
7. dan masih banyak pertanyaan yang belum tertulis disini. #nahanAirMata




Hari-hari sebelum mulai magang, aku dan Mba Nurul menyempatkan diri mengunjungi pantai di Gunung Kidul. Sudah kami bawa bekal dari rumah, air putih gelasan, hanya segelas untuk berdua, coklat, puding buatan Mba Nurul, krupuk. Subhanallah, bahagianya aku hari itu dan berharap Mba Nurul bahagia juga. Terimakasih Mba sayang. Di perjalanan pulang, kita berhenti di Bukit Bintang, berharap bisa melihat kota Yogyakarta di malam hari. Tapi begitu mendengar adzan maghrib, sebelum gelap, kita memutuskan untuk turun, mencari masjid. Mungkin nanti kalau aku sudah pulang, aku akan rindu momen ini. Apalagi di hari terakhir Mba Nurul jemput aku kerja, Mba Nurul bilang "dek, nanti kalau ke jogja lagi, berangkat pagi ya. sampe sini siang, sorenya kita ke bukit bintang". Aaaahhh Mba Nurul, akan kangen Mba pasti, pasti.

Ingat kalau Mba Nurul masak, aku tidak boleh sedikitpun mendekat, grogi mungkin. Tapi akhirnya kita masak kue berdua, dilengkapi lagu dari handphone Mba Nurul, serasa sedang main film. Tidak lupa juga acara buka bersama di rumah Mba Nurul, kita membagi tugas. Alhasil persiapan masak yang dimulai dari malam sebelumnya, pagi-pagi ke warung membeli sayuran dan bahan lain, sampai selesai semua jam 4 sore. Aku bahagia, sungguh. Menjelang maghrib mulai berdatangan orang-orang hebat lainnya, Mba Helley, Mba Kiki dan Dek Nada, Dek Reiny, Hanif, Mas Dhanny, Mas Ndaru, Adi, Yopi, dan Ersyad. Makan besar di rumah Mba Nurul, indahnya sore itu, 16 Juli 2013.

Hampir genap satu bulan aku bersama Mba Nurul, hampir genap sebulan aku diYogyakarta yang selalu istimewa ini, dan sudah genap kebahagiaanku disini. Mba Nurul, aku pasti kangen sama Mba. Terimakasih untuk hampir genap satu bulan ini, maaf untuk salahku selama di rumah. Mba Kiki, Nada, Mba Helley, Dek Reiny dan yang lain, terimakasih mau direpotkan dengan kehadiran Intan di Jogja. Dua hari lagi aku pulang, dan aku akan merindukan kalian, sangat. Terimakasih


Tulisan ini terinspirasi dari rasa terimakasih, haru dan bahagia ku selama di Yogyakarta. terimakasih Mba Nurul. Terimakasih teman-teman. Intan pasti rindu kota istimewa ini. Intan tunggu kalian di Surabaya. :')

This is not What I Want

Bandara Soekarno-Hatta, 21 Juli 2013.
Bismillah, untuk tugas mulia aku beranjak pagi ini dari kota yang penuh sesak. Pekerjaan yang mewajibkanku pergi dari kota satu ke kota lainnya. Disini, disampingku, biasanya ada seorang gadis yang menemaniku. Namun pagi ini aku hanya bisa mengirimkan sebuah pesan padanya, setelah tak terhitung berapa lama aku tak berbincang dengannya.

"Gue berangkat. Elu baik-baik di Jakarta. see you"
Message Sent.

Pesawat sudah mulai menuju ke atas awan, pikiranku masih saja di daratan, tertuju padanya. Sudah dua tahun aku mengenalnya, menghabiskan waktuku bersama gadis lucu ini. Seakan semua tawaku hanya karenanya dan untuknya. Semua cerita, peluk, kecup, beserta segala pelengkapnya memenuhi otakku siang ini, di atas awan. Tak sampai sepuluh menit segala keindahan itu berlalu-lalang, serasa dihentak bahwa setelah beberapa menit aku mengirim pesan, aku belum juga menerima balasan darinya. Ya, ini yang terjadi pada kami.

Yang dahulu tak lagi terjadi sekarang, kedekatan kami tak lagi menjadi bahagia. Dunianya bukan lagi duniaku. Entah siapa yang mulai menjauh, ini terjadi begitu saja. Bahkan ada perjanjian pada diri sendiri untuk melupakannya, begitupun pada dirinya demi menghargai privasi masing-masing. Masih di atas awan, ku buka album kesayanganku, untuk meninggalkannya di ruangan pun aku tak sanggup. Satu per-satu foto ku dan dia menghiasi penglihatan, betapa bahagianya saat itu, dan tentramnya hatiku saat ini. Lagi-lagi hanya bertahan sebentar. Tanpa ku sadari ada airmata, aku merindukannya, gadis lucu yang pelukannya selalu menghangatkanku. Sekarang dia punya bahagianya, begitupun aku, sama. Tapi aku masih terus memikirkannya dan berharap dia merindukanku juga. Bukan aku tak ingin bersamanya, ada orang lain yang harus ku bahagiakan disana, rumah. Aku sudah berjanji untuk pulang, untuk menjalani bahagiaku yang lain di rumah.

Pesawat sudah kembali ke haluannya, ke daratan dimana pikiranku selalu berpijak. Masih saja aku menunggu balasan darinya. Mungkin dia akan memberiku pesan lagi untuk menjaga kesehatan, untuk berhati-hati, makan tepat waktu, istirahat cukup dan cepat pulang. Potongan lagu Talking To The Moon mengalun, ah akhirnya dia membalas pesanku. Secepat kilat ku buka pesan darinya.

"Mana undangan nikahan lu buat gue? Ga ada?"

Damn! Bukan ini yang ku ingin. Hari bahagiaku tinggal tiga minggu lagi tapi aku masih saja tak sanggup menuliskan namanya di samping tulisan "kepada". Aku masih ingin menuliskan namanya bersanding dengan namaku. Entah apa yang harus aku katakan. Maafkan aku.

Sunday, 14 July 2013

Mantan Dermawan Negeri

Sial!! Mereka pikir mencari uang itu mudah? Masih memakai uang orang tua saja sombong sekali. Hey, nak, nanti saat kau sudah besar, kau akan mengerti bagaimana susahnya mencari seribu rupiah. Kau akan tau susahnya berfikir untuk membayar hutang-hutangmu. Lihat saja. Janganlah kau sombong sekarang. Ah sudahlah, biar mereka bersenang-senang dahulu. Mungkin mereka masih membanggakan putih abu-abunya.

Rentetan produsen asap masih saja bertahan di posisinya. Tapi aku, di antara langkahku sepagi ini, sudah ingin saja rasanya ku kibarkan bendera putih tanda menyerah. Tak apa, aku masih terus berjalan. Berusaha melanjutkan hidup, meski tak selalu aku mendapat yang ku inginkan. Debby menungguku, membawakan si pengisi perut. Bersabarlah, aku kan pulang dan membuat bentuk bulan sabit pada bibirmu. Masih terus menopang tubuhku, membebani kedua kaki dengan keinginanku untuk terus dan terus berjalan mencari mereka yang lain. Di depan sana, ya aku melihatnya. Irama laju langkahku sendiri dapat ku dengar, dan..sampai. Belum aku mengatakan sesuatu atau melakukan apapun, mereka melambaikan tangan dan berlalu.

Terkutuk kau! Begitu hinanya aku di matamu kah sampai kau menjauh tanpa sedikitpun tanda?? Bahkan salah satu dari kalian menutup hidung. Sialan! Awas kau! Nanti, lain kali kau bertemu aku, akan ku tutup hidungku dan ku ludahi wajahmu! Jijik aku melihatmu. Congkak! Jangan kau terus berjalan sembari mengangkat dagumu. Apa yang kau lihat? Langit? Tinggi nian, padahal ada tanah, sudah kau injak namun tak pernah kau lihat. Cuih! Persetan dengan kelakuanmu!

Sudah berubah warna bajuku karena keringat, basah. Masih saja si kanan kiri mengayun bergantian demi susur kota, untuk Debby. Tap Tap Tap. Terus dan terus irama kaki itu yang menjadi idolaku, setiap harinya. Masih mencari, masih semangat, meski tak ada lagi senyum tersungging. Hobi sekali penerang bumi ini membuatku basah karena panas dan keringat. Ku cari bangunan dengan jam atau apapun yang membuatku tahu jam berapa sekarang. Hari ini, aku melewati jalur yang berbeda, mungkin saja peruntunganku juga berbeda. Semoga. Gedung yang aku cari ada di seberang sana rupanya. Tapi ada yang mencuri mataku, segerombol orang berkelas dan barisan rapi puluhan mobil kinclong. Aku lupa sejenak tentang jam dinding dan dengan senyum ku beranikan diri menghampiri mereka. Lagi, bukan cuma lambaian tangan tapi juga cemoohan kali ini. Begini katanya "mba, mba, mbok ya kerja yang bener. Jangan cuma tangan dibawah. Nanti hak saya jadi punya kamu dong." Lalu pergi.

Brengsek!! Kau yakin itu hakmu? Hah? Bajingan kau! Sudah merasa jadi Tuhan rupanya. Baru jadi bawahan presiden saja sombong kali kau. Bajingan! Aku mengambil hakmu? Hak berapa orang di negeri ini yang kau ambil? Berapa kawanmu sudah masuk jeruji besi karena mengambil hak KAMI??!? Tapi ku lihat tak satupun kawanku mengikuti jejak kalian meski katanya kami mengambil hak kalian. Terus saja kau banggakan jas dan mobil mewahmu! Kau pikir lapangan pekerjaan di negara ini sudah sepadan dengan penduduknya? Kalau iya, mengapa kami tak mendapat? Mengapa kami masih saja menjadi sampah masyarakat seperti ini? Hei, para pemimpin negeri, banyak anak negara yang kau acuhkan! Ingat itu!

Aku hapus lusuh noda di bajuku, sedikit bermain mata dengan saku yang mendapat rezeki dari dermawan pagi tadi. Lima ribu rupiah. Lupakan setan-setan negeri itu, aku harus pulang. Debby, malaikat kecilku, ibu pulang nak. Membawa sesuatu untuk dicerna oleh perut mungilmu. Ibu pulang, nak.

Wednesday, 10 July 2013

CHANGE

Imagine the time we ever spent
together in that yellow building
Many boat-moon shapes that really meant
and until now i keep in saving

But, see
It's ours that becomes so flat
It's me
The one you have stopped to look at

There is dark cloud that kick me out
Then, none of you gives me allowance
To step into your newest crowd
Friends, I'm begging, could you see me once?

Mama Tara

Masakan mama enak. Kerang rebus, nasinya hangat, sayur brokoli sama jangung. Enak. Tadi Tara bangun kesiangan ya ma jadi ga bisa bantu mama masak. Hiks. Masakan mama tetep enak. Tadi Tara sama Arwil makannya banyak banget ma soalnya disuapin sama papa. Mama pasti senang kalau anaknya makan banyak. Kan mama biasanya bilang sama Tara, mama itu senang kalau anak mama makan banyak berarti masakan mama enak dan anak-anak mama suka. Kalau anak-anak mama suka, pasti mau makan dirumah terus kan ya. Iya, Tara mau makan dirumah terus aja. Mau makan masakan mama. Mau makan disuapin papa. Mau makan satu meja sama Kak Mutia sama Dek Arwil.

Oh iya ma, tadi waktu makan brokoli sama jagungnya, Tara jadi ingat mama sama Tara pernah masak berdua. Mama masih ingat kan ya masak-masak mau buka puasa itu ma. Iya itu yang kita masak berdua terus mama bilang sama Tara namanya sayur susu. Tara masih ingat loh isinya ma. mama bilang isinya...
Jagung yang udah disisir, harus banyak
Wortel dipotong kotak-kotak kecil
Brokoli juga dipotongin, ini Tara ikut bantu mama potongin loh ma
Ayam yang udah direbus terus dipotong-potong
Susu cari buat kuah
ditambah garam sama merica
itu kan ma? tapi papa suka pakai sambel botol juga, waktu itu Tara ngga suka. Mungkin kalau masak lagi, Tara mau coba pakai sambel.

Tara ingat ma. Berarti kita bisa masak itu lagi ma. Berdua lagi. Nanti mama lihat Tara aja, Tara yang masak buat mama. Terus nanti papa, kakak sama adek yang makan. Terus nanti ditengah makan, Tara mau bilang sama semua, Tara suka kalau masak sama mama. Tara suka di dapur sama mama. Tara juga sangat suka kalau papa, mbak, mama sama adek suka makanan buatan Tara biar nanti Tara bisa masak terus, kalau Tara besar dan udah jadi orang terkenal, semua masih mau makan masakan Tara. Terus nanti Tara mau mama bilang Tara bisa jadi koki besar dan terkenal. Tapi kalau Tara besar, Tara tetap mau masak sama mama. tara mau masak yang mama ajarin sama Tara. Tara tetep mau masak buat makan di rumah.

POKOKNYA MAMA JUARA SATU MASAKNYA. TAPI TURUN SEDIKIT KALO TARA UDAH BESAR. TARA JUARA SATUNYA. MAMA JUARA SATU SETENGAH.

Wednesday, 19 June 2013

ada

nama. rasa. cinta. harap.
sepasang mata indah
namun tak lagi menentramkan
maafkan aku, jika perlahan...
perlangkah..dan akhirnya hilang
aku tak punya alasan lain
hanya nama. rasa.
cinta. dan harap
serta setitik pendar cahaya ruang.
ah, mengungkap pun aku tak mampu
dan berkata pun lemah
untuk apa aku ada? bertahan?
aku tak mencarinya,
aku ada untuk bahagia

-masih untuk adek sarjana tulis-

Tuesday, 18 June 2013

kita

nama dan rasa
nama dan mata
kau dan hati
aku dan kebenaran
siang pun menertawai kita
mungkin aku kan mundur
...mengikuti jejakmu, bukan?
tatap mata nanar, kosong menjadi kawan
aku sudah mundur selangkah, dulu
dan selangkah sekarang
tinggal berapa langkah tersisa?
seperti permainan saja rasanya
hey, sudahlah.
jumpa kita kan menjadi tawa yang lebih
lebih lucu, ah bukan. lebih indah
terimakasih sudah berbagi
dan ini keputusanku, juga kamu
bukan dia...atau dia yang lain

-buat adek tersayang, tetep senyum :)-

Wednesday, 12 June 2013

act

and i believe a fantasy
of a rainbow
and some nice glossy
of a dropping snow
in this world
I try to read
and through the word
i act to write
give me a reason to stop
or i will go ahead
i don't want to be dropped
even when i am mad
tell me a story of love
i will always keep listening
and by the time i laugh
i will keep moving

Tuesday, 11 June 2013

Untuk si Pria Menyenangkan

Pejamkan mata saat diri telah lelah
Menanti waktu tuk bermanja dengan malam
Tak ada lagi benci dan amarah
Sudah bukan pula waktu tuk bermuram
Rebahkan badanmu dalam dekap rembulan
Hingga pada saat kau buka mata
Kau temukan lagi kegembiraan
Dan mereka yang selalu kau cinta
Ucapkan terimakasih dan syukurmu
Agar Allah senantiasa melindungi
Doakan diri dan orang terdekatmu
Dan jangan pernah lelah tuk saling menemani
Selamat malam, pria yang menyenangkan
Nyenyaklah dalam tidurmu beserta seluruh harapan

Friday, 7 June 2013

Terlahir, Belajar, dan Melanjutkan Hidup

Dua puluh Tahun lalu, seorang wanita hebat berusaha mempertahankan hidupku agar aku dapat menikmati indahnya dunia dengan setiap hela nafasku, Mama. Selama dua puluh tahun pula mereka, dua orang yang sangat tegar menanggung kehidupanku dan segala keluhanku tanpa meminta balas, Mama dan Papa. Ada seorang yang lahir lebih dulu daripada aku dan ia salah satu motivasiku untuk menjadi lebih baik hingga saat ini, Mbak Ciquita. Dan seorang lagi yang melengkapi kebersamaan kami dua tahun setelah aku lahir dan ia menjadi semangatku untuk terus berjuang selama ini, Dek Aldo. Ya, mereka yang selalu ada untukku dan aku yang hampir mengabaikan mereka karena kesibukanku, namun mereka selalu mendukungku. Bersyukur aku berada diantara keluarga yang hangat ini.

Sebenarnya aku dan saudara-saudaraku dilahirkan ditengah keluarga yang cukup mampu, namun begitu hebatnya Mama Papa untuk membiasakan anaknya berjuang hidup. Ada beberapa kejadian yang akan selalu ku ingat seumur hidupku. Dimulai dari kejadian-kejadian kecil untuk tetap sabar, berjuang untuk mendapatkan sesuatu, sampai belajar bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan. Itu semua sungguh berarti dan semoga banyak orang tua diluar sana yang juga menerapkan cara ini agar dapat dikenang dan diterapkan oleh anak-anak mereka.

Cerita pertama adalah saat aku atau kedua saudaraku tersandung atau semacamnya. Disini hebatnya Mama yang mengajarkan anak-anaknya untuk tidak dendam pada apapun dan siapapun. Baru ku sadari saat melihat orang tua lain mengatakan "ah mejanya nakal, ayo dipukul", tapi Mama tidak pernah mengatakannya. Aku ingat, Mama selalu mengatakan padaku "nah, kenapa mbak? lain kali lebih hati-hati ya nak, biar ngga kesandung lagi". Sungguh mujarab kata-kata itu sehingga aku tidak menangis terlalu lama karena harus berfikir dahulu mengapa aku terjatuh, bagaimana bisa tersandung, dan sebagainya. Sehingga tidak perlu bagi kami menyalahkan apa yang ada di sekitar kami sebelum introspeksi diri sendiri, dan semoga itu masih kami lakukan sampai saat ini.

Cerita kedua adalah dimana Mama Papa selalu membiasakan kami, anak-anaknya, untuk bersabar dan mengerti keadaan orang tua. Hm... Namanya saja anak kecil (dulu) pasti banyak maunya, mainan, makan diluar, dan lain-lain. Sempat aku merasa iri pada teman-temanku yang lain dimana semua keinginan mereka selalu dituruti oleh orang tuanya. Apapun yang mereka minta pasti dibelikan, kemanapun mereka mau pasti dilaksanakan oleh orang tua mereka, tapi aku? mbak? adek? Tidak semudah itu. Hampir setiap kami meminta sesuatu, kami harus menunggu terlebih dahulu. Mama Papa selalu berkata "nanti ya mbak, dek, mama papa belum ada rezeki", atau "waahh yuk bantu mama beres-beres meja biar dapet uang jadi bisa beli mainannya". Ah, kenapa tak langsung saja Mama Papa belikan apa yang kami inginkan. Setelah menginjak usia remaja, aku baru tahu mengapa Mama Papa berlaku seperti itu, ternyata Mama Papa ingin kami tidak menjadi anak yang manja. Mengajarkan kami untuk bersabar dan berjuang untuk mendapatkan apa yang kami inginkan.

Cerita ketiga ini sedikit menggelitik sebenarnya bagiku, karena kejadian ini bisa dikatakan lucu namun mendidik. Lagi-lagi Mama Papa mengajarkan kami sesuatu melalui "kesulitan". Saat itu aku dan Mbak berada di bangku SMP, dan sedang gencar-gencarnya memakai telepon rumah berlama-lama (entah aku lupa siapa yang ku telepon saat itu, begitupun Mbak). Sampai pada akhir bulan, tagihan telepon tak terduga, jauh diatas batas normal pemakaian biasanya. Saat itu Mama Papa tak langsung membayar tagihannya, namun kami didudukkan dan diberi pengarahan bahwa Mama Papa butuh telepon rumah namun mereka tidak mampu membayar tagihan dengan jumlah yang begitu besar. 

Tebak apa yang kami lakukan. Kami masuk ke dalam kamar, berfikir apa yang harus kami lakukan untuk membayar tagihan telepon. Kami, aku, mbak, dan adek, melihat sekeliling kamar. Lalu kami menemukan buku-buku yang sudah tak terpakai namun masih banyak kertas kosongnya. Akhirnya kami menyobek kertas-kertas itu dan menjadikannya kertas buram lalu kami jual ke teman di sekolah. Nah, kejadian lucunya adalah aku ingin cepat bisa membayar telepon karena Mama Papa membutuhkan telepon itu. Aku berfikir bagaimana caranya agar kertas buram ini habis dalam sehari. Alhasil aku membagikan kertas-kertas itu pada teman-teman sekelas ku. membiarkan mereka mengambilnya, mencoretnya. dan setelah seluruh teman menggunakan kertas itu, karena kebetulan hari itu pelajaran matematika, aku meneriaki mereka "aaaaa kenapa dicoret-coret??? itu kan aku juaaaalll. ayo bayar".. haha. Dan mereka pun (dengan terpaksa) membeli kertas buram buatanku. Tak lama, kami mengumpulkan uang hasil jualan kami dan memberikannya pada Mama Papa untuk membayar telepon.

Masih banyak lagi cerita tentang perjuangan hidup bersama Mama Papa, Mbak dan Adek yang tak akan ku lupa. Menjual nasi goreng di sekolahan dengan harga 1000 rupiah, saling menyemangati selama di rumah sakit selepas kecelakaan itu. Keluarga ini tak pernah membiarkan anggotanya merasa susah tanpa senang setelahnya. Dan kini aku percaya bahwa Keluarga akan selalu ada dan akan selalu menjadi tempat untuk pulang dalam situasi seburuk apapun. Terima kasih Mama Papa, aku ada karena Mama Papa dan semoga aku dapat mempersembahkan hidupku untuk Mama Papa pula. Akan selalu ku ingat semua cerita indah kita Mbak dan Adek, aku sayang kalian. :')

Thursday, 23 May 2013

untuk si gadis dan kalian yang sedang rindu


Aku pernah tertawa karena rindu, pernah pula aku menangis karena tak dapat menahan rasa ini. Entah aku memungut rindu dimana, tapi aku tak sekalipun mampu melemparnya jauh dari ku. Aku sering merasa rindu saat aku lama tak berbincang dengan mereka yang dekat denganku. Dan sepertinya ini tak hanya terjadi padaku. Yaa..

Malam ini seorang gadis menyapaku lewat pesan singkat dan aku mencoba menyapanya lewat media yang lain, meski sama-sama berbentuk tulisan. Ku coba tanya apa ada yang mendesak untuk dibicarakan, mungkin tidak. Gadis ini rupanya sedang merindukan beberapa orang tercinta. Dia bertanya apakah aku mengijinkannya untuk meneleponku atau tidak, ah maaf maaf dan maaf sepertinya aku tidak bisa berbincang malam ini karena beberapa alasan. Maafkan aku, hey kamu. Tapi aku masih mencoba menguatkan fisik untuk sedikit membaca keluh kesahnya atas satu rasa yang sungguh tak bisa dia pendam terlalu lama. Awalnya, ia sampaikan bahwa ia sedang sangat merindukan saudara yang dekat dengannya. Lalu entah apa yang mempengaruhinya, ia mulai menangis dan berkata "ada banyak rindu dan banyak hal yang ingin ku sampaikan, mbak" , lalu ia menangis. Sudah di ujung mata pula air mataku, tapi ku coba untuk tetap menguatkannya.

Mungkin aku tak dapat menenangkannya, aku hanya bisa berkata bahwa tak ada yang perlu ditangisi atas rindu ini. Hanya perlu diyakini bahwa akan ada berjuta perbincangan dan pertemuan yang lebih berkesan sehingga tak kita sesali rindu ini. Kami (yang ia rindukan) dan dia hanya sedang berada di pilarnya masing-masing. Bukan terbatasi, hanya saja ada sesuatu diluar "kita" yang bisa kita nikmati, bahkan yang belum pernah kita duga sebelumnya. Dan satu lagi, percayalah Allah punya cara dan waktu sendiri untuk membahagiakan hambaNya dan Allah tidak pernah terlambat. 


Ada satu bagian dari bincang kita malam ini yang membuatku ingat kejadian malam itu. Entah apa yang membuatku masih terjaga hingga dini hari, lalu ku lihat layar telepon menyala dengan nama si gadis. Aku menjawabnya, namun kita hanya saling sapa lalu mengakhiri panggilan itu. Tepat di saat itu aku membuka salah satu akun nya, lalu ku selipkan namanya dalam doa menjelang lelapku.Dan ternyata, disana ia pun mendoakanku. Dan malam ini ia berkata padaku, ia hanya butuh bertegur sapa denganku malam itu, karena setelah menutup panggilan itu, ia langsung pejamkan mata dalam pelukan malam.

Lagi, ku luangkan sedikit waktuku untuk membaca ceritanya. Ah, kamu hey gadis, tidak ada yang perlu ditangisi. Kamu sedang berada di pilar yang begitu indah dan kamu seharusnya sadar betapa hebatnya kamu dan hari-harimu belakangan ini di tengah rindumu. Tanpa kau sadari kau menikmati apa yang kau lakukan, sungguh, aku dapat membacanya dari tulisanmu. Betapa nikmatnya hal-hal yang kau lalui bersama mereka. Perlu kau tau, "setidaknya dengan meluangkan waktu untuk keluar dari area mu meski sejenak , kau dapat menemukan hal-hal baru yang menarik dan menyenangkan yang tentu belum pernah kau duga sebelumnya".

Berbahagialah, hey yang sedang berputar di sekitar rindu di pilarnya masing-masing.

Sunday, 19 May 2013

aku dan realitaku

Kekuatan untuk mencintai
Merupakan anugerah Tuhan yang paling berharga bagi manusia
Anugerah itu tidak akan pernah dicabut
Dan merupakan berkah bagi orang yang dicintai

Cinta bersemayam dalam jiwa
bukan dalam tubuh
Dan layaknya anggur
Cinta akan memacu diri kita
untuk menyambut anugerah dari kesuciannya

                        -Kahlil Gibran-

------------------------------------------------------------
Aku ingin seperti burung
Agar aku bisa terbang melayang bersamamu
Aku ingin seperti mentari
Agar aku dapat terus bersinar untukmu dan cintamu
Aku ingin seperti bulan
Agar aku selalu menemanimu di kelamnya malam
Aku ingin seperti batu karang
Agar aku dapat melindungimu dari ganasnya dunia
Aku ingin seperti sehelai selimut
Agar aku yang selalu menghangatkanmu
Aku ingin seperti seorang pujangga
Agar aku dapat membuatkan syair indah untuk selalu kau nikmati

Aku tak dapat mempercayainya
aku tak tau dimana harus memulainya
sangat banyak khayalan tertanam jauh di diriku
Ada sesuatu yang penting untuk kau ketahui
.....sekarang dan selamanya
aku kan berdiri disini
menunggu dan tak kan menyerahkan ke-putus-asa-an-ku
terhadap dorongan hatiku padamu
Mencoba membuatnya bersinar
Mungkin suatu hari kau kan mengerti
sekarang dan selamanya, aku tetap disini

Yang ku katakan padamu dapat kau lihat
Cinta mempunyai arti saat kau bersamaku
Dan sekarang,
tak ada yang mampu menenangkanku disini
dan aku membutuhkanmu
di dinginnya realitaku

            -Intan Puspakirana-

Friday, 17 May 2013

Kalahkan ego, bersiaplah untuk hari esok!

Untuk kesekian kalinya aku terbangun malam itu, 01.00 , 02.00 , 03.00. Yang terfikirkan hanya bagaimana caranya aku tertidur lagi setelah terbangun. Mencoba berbagai cara, mendengarkan musik, memaksa diri untuk menguap, ah konyol sekali yang ku lakukan ini. Tapi itulah yang memang ku alami dan sangat sering ku lakukan. Sampai terdengar Adzan Subuh saat aku lagi-lagi membuka mataku. Setelah shalat, banyak sekali permintaan yang ku panjatkan pada Nya, tak terhitung. Dan aku selalu menuntut hal itu untuk dikabulkan. Harus, atau aku akan memaksakannya. Tak peduli bagaimana caranya, aku harus mendapatkannya.

Matahari mulai menyapaku lewat celah jendela ruang singup ini. Mencoba mengintip lewat jendela yang sedikit berdebu, berharap matahari belum terlalu naik pagi ini, setidaknya aku bisa kembali memejamkan mataku sejenak. Tapi, ah..harapanku begitu saja hilang saat ku alihkan pandanganku ke arah jam dindingku. Waktu tak lagi bersahabat denganku, seakan tak ingin aku terlalu lama berada di antara pengap. Baiklah, aku keluar. Seret langkah yang terdengar berat semakin menambah suasana lelah pagi ini, sama seperti pagi-pagi sebelumnya. "Brak!" Ku banting pintu kamar mandi karena aku selalu tak berkawan dengan pagi. Kesal, aku lelah, mengertilah, pastilah tak satupun menjawab karena pagi seperti ini sudah menjadi rutinitas di gubuk ini. Tak lama waktu yang ku butuhkan untuk bersiap diri menjalani paksaan dan masalah-masalah hari ini. 

Segera ku lihat orang tua yang selalu mengantarku sampai depan pintu kayu itu lalu ku beranjak pergi. Ya, padat jalanan kembali ku temui, semacam siksaan ditengah panas kota ini. Kota kumuh yang selalu muram tak pernah memberi keceriaan untuk para penduduknya.Siapa yang senang berada disini, aku pun tidak.Bising suara kendaraan, abu-abu asap yang tak pernah terlewatkan, bagaimana tidak, begitu banyak kendaraan yang mungkin melebihi jumlah kepala keluarga disini, banyaknya pabrik yang tak henti menambah polusi kota ini -baiklah kota ini boleh saja menjadi kota industri tapi tak harus menjadi kota polusi-, ah ya pemandangan yang paling sering ku temui adalah putung rokok!!! Entah aku sangat membenci pemandangan itu. Sudah mencemari udara, mengotori jalanan pula. Andai aku bertatap muka dengan orang yang melakukannya, sudah ku lahap dia dengan semburan kata-kata panasku. 

Sampailah aku di tempat biasa ku menjalani rutinitas harianku, bersiap untuk segala masalah-masalah baru yang selalu menambah kesan buruk hari ini. Sungguh, dipenuhi tekanan adalah hal yang tak menyenagkan, sama sekali. Kertas, bolpion, mereka musuh bebuyutanku. Sejak pagi hingga hampir senja aku berurusan dengan mereka seperti aku pekerja rodi saja. Aku ingin pulang, aku ingin pulang, aku ingin pulang. Aku hanya ingin pulang, kembali ke singup ruanganku sendiri, melakukan apapun yang ku ingin dan tak satupun musuh-musuh ini bisa masuk. Tak satupun! Tapi aku harus menghadapi kenyataan buruk ini, lebih dari enam jam harus ku lalui disini, baiklah. Garis-garis kertas ini menambah garis-garis DATAR di hidupku. Tak adakah garis yang sedikit bergelombang sehingga ku bisa sedikit menikmatinya? 

Sudah lebih dari enam jam aku disini bersama mereka kawan-kawan yang tak pernah menjadi kawan. Sapaan-sapaan yang tak pernah menjadi sapa semangat. Aku masih menikmati duniaku sendiri yang menginginkan segala yang ku rencanakan tanpa harus memikirkan apa yang akan terjadi setelahnya atau yang terjadi pada sekitarku. Sudahlah, ini saatnya aku kembali ke rumah pilar. Saatnya aku menyendiri lagi. Menanti senja di dalam "singup"ku. Saat senja menyapa, oranye ungu biru tua abu-abu dan putih yang beradu memancarkan indah damai hari ini. Siapa yang berani menyela saat aku menikmati langit ini. Sungguh pemandangan yang tak pernah ingin ku lewatkan karena di saat-saat seperti inilah aku menemukan kedamaian. Andai setiap detik adalah senja, mungkin aku akan berkawan dengan apapun dan siapapun. 

Menit-menit jingga berakhir, hanya ada hitam, bulan dan lampu redup. Siapa yang menyangka aku takut akan kegelapan? Bukan takut akan terjadi hal yang menakutkan, tapi takut memejamkan mata dan takut esok hari cepat datang kembali. Sehingga ku putuskan untuk membuat secangkir kopi pahit agar mataku tak terpejam dan aku tak perlu cemas saat terbangun nanti. Sesekali aku menyapa seseorang di seberang sana walau hanya lewat dunia yang sering dibilang palsu, tanpa kepastian.Tak mengapa, aku menikmatinya karena menyapanya sudah menjadi setitik bagian dari hariku. Sepertiga malam ku lewati, mata sudah memaksa untuk terpejam namun aku masih saja ingin terjaga, masih terlalu takut menghadapi esok yang sama sekali tak ku harapkan. 

Sekilas aku melihat sebuah catatan kawan "nilai diri dan harimu" dan aku harus menandai mana saja yang sudah ku rasakan dalam hidupku, begini hasilnya :
Ceria
Semangat
Bahagia (terkadang)
Egois
Memaksakan kehendak
Menikmati pagi
Menyapa kawan
Optimis
Pesimis
Malas
Bersyukur
Menghujat
Mengeluh
Menyayangi
dll : ....... (aku tak mampu mengisi lebih)

Coretan yang ku buat sendiri memberiku kesempatan untuk melakukan sesuatu, membuat rencana baru akan hari esok. Secara garis besar, aku merencanakan hari esok seindah mungkin dan itu akan benar-benar menjadi kenyataan. Ini rencanaku saat itu dan sudah ku nikmati :

Segarnya pagi ini karena sengaja ku buka pintu sejak malam, sinar matahari perlahan juga merasuk sukma dan menjadi semangat tersendiri pagi ini. Aku masih sering terbangun setiap dini hari, tak lagi tidur yang ada di pikiranku, aku mencoba lebih baik. Aku mengambil wudhu, bercerita padaNya dan lebih banyak bersyukur. Begitupun pada shalat subuhku, memang masih banyak sekali keinginanku, tapi aku tak ingin memaksakannya. Aku sudah berusaha dan berdoa, untuk selanjutnya, bukan lagi menjadi urusanku, itu urusan Allah akan menjamahnya ataupun tidak. Aku sudah cukup bahagia bisa selalu bercerita padaNya dan Dia selalu mendengarkanku, seakan tidur dini hari ku selalu dihiasi dengan pelukanNya. Subhanallah.

Melangkah keluar ruangan favoritku dengan senyum dan mulai ku sapa satu per satu anggota keluarga mungil ini. Betapa indahnya saat melihat mereka tersenyum padaku setiap pagi, menambah semangat yang sama sekali belum pernah ku rasa. Sungguh pagi ku sangat menyenangkan mulai saat itu. Tak ada lagi lelah ku temui atas semua keluh kesahku sendiri, ya..karena keluhan itupun sudah jarang ku nikmati. Aku justru membuang keluhan itu jauh-jauh. Cepat-cepat ku percantik diriku untuk menyambut permainan dan tantangan baru hari ini yang ku yakin akan sangat menyenangkan.

Jalanan ini memang masih ramai, padat. Tapi lihat, begitu banyak manusia yang masih mau berjuang melawan panas dan penat. Mengayuh sepeda mereka untuk menjual makanan, barang, sampai mengantarkan orang lain ke tempat tujuan. Masih ada asap-asap yang menurutku tetap saja polusi, lalu mengapa? Aku juga akan tetap menikmati ini setiap hari. Tak apalah polusi ini berkelanjutan asal tak lebih parah dan kota ini bisa lebih maju serta membantu pembangunan yang akan terus berkembang. Dan...putung rokok! Masih saja ku lihat dimana-mana, semoga mereka akan disadarkan. Boleh saja melepas penat dengan barang kegemaran mereka itu, tapi tidak untuk dibuang sembarangan.

Tak akan ada lagi masalah ataupun paksaan karena aku akan sangat senang dengan kegiatanku hari ini dan seterusnya. Kertas dan bolpoin tak lagi menjadi momok bagiku, mereka sudah menjadi refleksi diriku sendiri. Segala yang ku rasa, ku dengar, ku lihat akan tertuang perlahan. Memang tak seindah yang dibayangkan kebanyakan orang, tapi aku mulai bersahabat dengan tulisanku. Enam jam lebih itu tak lagi terasa lama, karena aku menyukainya. Aku mulai tersenyum pada kawan-kawan yang berlalu lalang di hadapanku. Mencoba menimbun semangat dari sapaan-sapaan mereka. Menyenangkan bukan? Duniaku sudah begitu sejajar dengan dunia mereka yang penuh warna. Sepulangnya aku dari aktifitasku, ku coba hentikan kendaraanku di pinggir jalan dan menikmati senja hari ini. Begitu nikmatnya, menikmati jingga dengan sedikit ungu diantaranya diiringi musik-musik natural dari angin dan kendaraan yang berlalu di belakangku. Tak lama, aku kembali ke istana yang sebenarnya. Rumah. Suasana tentram karena anggota keluarga yang selalu menantiku untuk makan malam bersama. Segera ku rapikan diri, dan menuju ke meja makan. 

Dan ingin rasanya malam ini aku mengalahkan ego ku sendiri. Aku ingin memejamkan mataku lebih awal daripada biasanya. Tak mengapa jika aku harus terbangun di sepertiga malam setiap harinya, tapi sekarang badanku ingin istirahat, ragaku butuh sedikit santai tak seperti biasanya. Lagi, ku sempatkan diri untuk menyapa dia yang di seberang sana,aku ingin dia tau hari ini sangat menyenangkan dan dia adalah bagian dari kebahagiaan yang ku rasakan hari ini. Berharap esok masih bisa bertegur sapa dan kembali tertawa bersama. Kopi, lupakan sejenak tentang kopi, aku berdoa, mengucapkan terimakasih pada Allah atas segala nikmatNya hari ini dan mulai ku pejamkan mataku. Tak lagi takut akan hari esok karena ku yakin hari esok akan lebih menyenangkan daripada hari ini. Akan banyak sekali permainan dan tantangan baru yang menantiku. Aku akan bersiap untuk hari esok. 

Ah, aku lupa. Aku membuat list sendiri hari ini "Ini Hariku dan Kamu(semoga)" :
Menyenangkan
Nikmat
Bersyukur
Bahagia
Optimis
Ceria
dll : masih banyak hal positif lain yang tak akan cukup tertulis di daftar ini

Kalahkan ego, dan bersiaplah untuk hari esok! Sampai jumpa :)

Saturday, 4 May 2013

Nikmati saja prosesnya

kita tidak bisa menghapus apa yang ada di hati kita, kita hanya bisa mengendalikanya.

sebuah kalimat yang menjadi kesimpulan perjalanan selama ini. Banyak cerita yang ku dengar, berbagai memori yang ku simpan.Dalam satu waktu, seorang wanita berkata padaku ia sedang jatuh cinta, seorang lainnya berkata ia sedang sakit hati, seorang lagi berkata sedang mengemban rindu, dan aku disini hanya mendengar. Kemudian aku mulai berfikir mengapa diciptakan begitu banyaknya rasa dalam satu waktu. Mungkin agar aku menyadari bumi ini berotasi, begitupun rasa , hati, dan hidup. Memiliki berjuta rasa yang silih berganti. Ah, ya.. ini saatnya berotasi .Ijinkan diri mulai berputar, bukan untuk berbalik arah membuka alur sebelumnya, tapi berotasilah di alur baru, lintasan yang baru. Mungkin itu akan lebih menyenangkan daripada harus berputar tanpa tujuan pasti.

Ingatkah kapan pertama kali seorang mencoba membuatmu nyaman untuk selalu ada di dekatnya, lalu perlahan membiarkan hati terbuka untuknya? Bayangkan betapa berharganya perasaan itu sampai untuk meninggalkannya pun tak terlintas di benak dan hati. Namun saat mengingat bagaimana dia yang membuat bahagia pun akhirnya pergi, meninggalkan semua jejak di alur sebelumnya, rasanya begitu ingin cepat melalui masa itu.Bukannya mencoba memaafkan dan berdamai dengan diri, malah berdamai dengan kenangan sehingga hanya menjadi benang yang tak pernah terurai.

Butuh waktu yang cukup lama sampai pada akhirnya seorang lainnya hadir dengan sebuah harap yang lebih baik dan menyenangkan, semoga. Setumpuk bahasan yang semakin menahan dan semakin ingin menyamankan diri dengan segala yang terjadi. Harap akan pertemuan yang selalu terlintas setiap harinya. Harap dari kerabat yang tak hentinya menyemangati dan dukungan yang mulai terasa sehingga senyum itu tak pernah lupa tersungging setiap melihat pesan singkat darinya. Ya, tanpa disadari senyum itu selalu ada dan rasa nyaman itu semakin memaksa untuk terus merasakannya.

Ini bukan tentang bersama atau tidak, ini hanya sejumput kenyamanan yang entah dimana akan berujung. Tidak semua rasa nyaman itu akan menjadi hubungan yang menyenangkan, bukan? Tak perlu hilangkan rasa nyaman itu, kendalikan saja. Saat "klik" itu sudah ditemukan, maka hubungan itu akan terjalin dengan sendirinya. Kendalikan untuk yang baik. Saat nyaman berubah jadi rindu, jangan paksakan untuk sekedar nyaman atau menimbulkan perasaan lain yang menjemput banyak harap. Tapi saat nyaman itu berubah menjadi sejuta rasa yang tak dapat dijelaskan, jangan hilangkan. Kendalikan saja, mungkin perasaan itu memang yang tertanam di hati keduanya.

Ah, sudahlah. Nikmati saja prosesnya. Jangan tergesa, pelan-pelan asal jangan pula terlambat. #noted


Tuesday, 30 April 2013

Perjalanan dimulai di sini

Aku mencoba berbincang dengan seorang kawan di ujung jawa sana. Tentang hari, hobi, kesibukan, hal-hal yang menyenangkan dan segala sesuatu yang seakan menjadi kenyamanan sehingga tak ada keinginan untuk keluar dari zona nya. Entah bagaimana awalnya, perbincangan kemarin mengingatkanku pada kebiasaan yang mungkin semua anak-anak Indonesia lakukan saat kecil dulu. Ketika masih di bangku TK atau playgrup, saat pelajaran menggambar, mayoritas yang digambar adalah pemandangan gunung dengan sawah yang digambar kotak-kotak lalu diberi matahari diantara gunung. tak lupa jalan kecil, atau mungkin sebagian menambahkan orang-orangan sawah atau burung dan awan. Betapa bahagianya saat gambar itu jadi dan mendapat nilai 80. Beranjak ke bangku SD, mulai muncul ide-ide baru untuk dituangkan ke atas kertas gambar. Ada yang menggambar pantai dengan jingganya senja, ada yang mulai menuangkan apapun yang dilihat di sekitar sejauh mata memandang.

Sekarang, bayangkan bagaimana bisa gunung yang seringkali kau gambar saat kau kecil justru menjadi destinasi utama mu untuk berkunjung. Pantai dan senja yang seringkali membingungkan kita memilih warna, sekarang menjadi idola yang selalu ingin di abadikan. Bukan hanya itu, bahkan dewasa ini, kita menemukan yang lebih daripada sebuah imajinasi di atas kertas. Bahkan persahabatan pun kita dapatkan dari sebuah perjalanan. Persahabatan yang dimulai dari menanyakan "permisi mbak, boleh minta air minumnya sedikit?", "permisi mas, punya korek?" dan sebagainya yang dilanjutkan oleh percakapan kecil yang berlanjut menjadi sebuah persahabatan.

Saat ku tanya apa yang dia -kawan di ujung jawa- dapat temukan dari sebuah perjalanan diluar sana? Dia menjawab "sahabat, kepedulian, sama rata, kesetiaan". Jawaban yang tak pernah terfikirkan sebelumnya. Menjadi renunganku malam ini betapa berartinya sebuah perjalanan singkat yang tak terbatas. Setelah ku ingat beberapa perjalanan lalu, maka ku temukan semua jawaban sang kawan. Kita akan selalu peduli dan setia saat dalam perjalanan, kita tak akan meninggalkan kawan kita jauh di belakang tanpa satu pun orang menemani. Kita akan menunggu dan ditunggu tanpa rasa lelah dan segala keluh kesahnya. Bahkan tak jarang semangat-semangat tak terduga muncul ditengah perjalanan itu. Semangat yang mungkin tak kita miliki sebelumnya. Tentang sama rata, aku mulai berfikir siapa yang akan menatapku sebagai mahasiswa? Siapa yang akan menatapmu sebagai pegawai? dan siapa yang akan menatap mereka sebagai pejabat? Disana, saat perjalanan tanpa batas itu kita mulai dengan langkah kecil sampai berakhir dengan senyum puas dan nafas tersengal. Sang kawan juga mengatakan padaku betapa indah alam Indonesia, menimbulkan rasa syukur dan hebatnya berbagi.

Berawal dari imajinasi masa kecil, goresan-goresan bermakna, warna cerah yang menjadi hiasan. Sekarang, menjadi kegemaran dan destinasi utama. Istimewa dan gagahnya pegunungan beserta matahari terbit dan lautan awannya. Luas dan luar biasa cantiknya pemandangan pantai beserta senja nan jingga dengan secercah harapan akan hari esok. Beratnya beban yang terpanggul di pundak tak terasa saat pemandangan menyambut dan kawan menemani. Semoga masih banyak kesempatan untuk kita berpetualang diluar sana. hey, kawan di ujung jawa, semoga lekas bertemu dan berbagi cerita.

Friday, 26 April 2013

stop whining!

aku jenuh
aku kesal
aku lelah
aku bosan
aku ingin ganti situasi
aku terlalu lemah untuk semua ini

shut up!!!!!

Hentikan semua kata-kata itu. Seringkali aku mengeluh pada orang lain tanpa memperhatikan hal positif yang lebih banyak berputar di kehidupanku. Bukan, sebetulnya aku bukan mengeluh. Aku hanya butuh teman berbagi. Sungguh. Aku tak perlu ucap siapa yang pernah berjanji akan selalu ada. Karena akan ada saatnya mereka yang berkata akan selalu ada pun juga akan pergi. Aku butuh kamu. Kamu yang mengangkatku saat aku terjatuh, atau jika pun kau tak mengangkatku, kau mendengarkanku. Itu sudah sangat cukup bagiku.

Ah, ya. Aku ingat saat kau mulai bercerita padaku dan aku memintamu bersyukur. Syukuri saja yang terjadi di hidupmu, apa guna kau mengeluh, hanya menambah beban pikiranmu. Kau lihat, aku mulai tak konsisten. Aku mengeluhkan ini padamu tapi aku terlalu malu untuk mengakuinya. Maafkan aku. Terimakasih karena kau tak menamparku dengan kata-katamu. Terimakasih karena kau selalu ada tanpa kau menjanjikan suatu apapun. Setidaknya aku tak berharap namun aku selalu menemukan tempat untuk pulang saat aku lelah.

Mari kita tuliskan pada selembar kertas ini tentang banyak sekali yang harus kita syukuri dalam hidup ini :
1. Allah memberi kita berdua, dan mereka semua, kesempatan untuk bernafas. Padahal jelas-jelas kita tak pernah memintanya. Kita tak meminta oksigen untuk di hirup. Tak minta pohon untuk fotosintesis. Tak minta nafas. Bahkan kita tak pernah meminta untuk diajari caranya bernafas. Kita tak minta saja diberi sebegitu nikmatnya, bagaimana kalau kita minta? Bukankah Allah akan memberi lebih? Mengapa kita tak pernah berfikir untuk meminta semua itu? Karena kita merasa cukup. Ya, Allah selalu memberi kecukupan pada kita.
2. Kita tak pernah meminta biru untuk laut, putih untuk awan, atau mungkin jingga untuk senja. Tapi semua itu nampak begitu indahnya. Bahkan seolah kita menjadi penggemar mereka. Hebat ya.
3. Bersyukur karena kita lahir, kita tinggal, kita belajar, kita berkawan dengan banyak sekali orang-orang hebat. diantaranya......kamu. Maka ku rasa ini hal yang patut ku syukuri. Mungkin kamu juga patut bersyukur atas seseorang yang dihadirkan dalam hidupmu.
4. Dan banyak hal tak terhitung lainnya yang harus kita syukuri. Harus, bukan seharusnya.

Lihat, nikmat apakah yang Allah tak berikan pada kita. Semua nikmat, segala rasa, tak terduga diberikanNya pada kita. Shut up! Stop Whining! Do something better and useful. Dan kau, terimakasih telah berfikir bersamaku tentang rasa syukur malam ini.

Monday, 22 April 2013

tentang kita

tak selamanya yang kita inginkan akan menjadi kenyataan, sayang. akan ada saat dimana kau harus meninggalkan yang sebenarnya sangat kau sukai, melupakan apa yang selalu ingin kau ingat, melepaskan apa yang seharusnya kau gapai. bukan karena kau tak lagi ingin memperjuangkannya, namun karena tak ingin terlalu menyimpang dari jalannya.
terimakasih sudah merindukanku seperti biasanya, aku pun begitu. kau ingin mengulang memori beberapa tahun lalu? saat kebersamaan kita kau rasa begitu indah. baiklah kita akan mengingatnya malam ini.. :)
kau ingat bagaimana kau memperjuangkan aku. saat cinta bertemu SARA. seperti judul film ya, namun itu lah yang terjadi. dimana kita betul berjuang saat itu sampai pintu itu sedikit terbuka, hanya sedikit. namun itu sungguh berarti bagi kita sampai sekarang.
kejadian lain yang selalu ku ingat bagaimana kita selalu bertemu setiap jam delapan pagi, di rumah orang tuaku dan kau selalu bertanya "sudahkah kau buatkan kopi favoritku?". kau tahu, aku selalu membuatkan kopi untukmu setiap jam enam pagi karena aku tahu kau tak kan meminum kopi buatanku saat masih terlalu panas.
ingatkah kau, dulu, kau pernah dengan sengaja mengantarkan makan siang untukku ke tempat kerjaku dimana tempat kerjaku adalah sebuah restauran. kau antar sebungkus nasi dengan lauk kari otak dan sayurannya. kau bilang kau sudah makan, makanan yang sama. namun kau mengingatku di tengah makan mu, lalu kau ingin aku makan makanan yang sama denganmu. ah, begitu indahnya saat itu. 
hal-hal kecil yang selalu ku ingat, dan mungkin kau juga mengingatnya. semoga. ah aku ingat, dulu kau selalu mengernyitkan dahimu jika di telepon genggamku tertera nomor yang tak kau kenal. ya, kau begitu cemburu pada orang-orang di sekitarku. padahal kau tahu aku tak kan membagi perhatianku dengan siapapun. kau memiliki porsi sendiri. begitupun mereka. kau tahu itu sekarang. 
mungkin tak seharusnya kita mengingat ini sekarang. karena kita sudah memiliki kehidupan masing-masing. ah, tidak. kita hanya ingin tertawa sejenak mengingat semua ini, walau yang jatuh justru air mata di kedua pipi kita. 
sudahlah jangan menangis, percayalah kita akan selalu baik2 saja. dengan atau tanpa masing-masing kita. kau memintaku untuk selalu ada, tak pergi kemanapun, tak mengurangi komunikasi. tak akan. inilah kita, tak ada yang berubah, bukan? jangan pernah takut kehilangan karena Allah selalu menyiapkan orang yang akan selalu menopang saat kita hampir terjatuh. jika terjatuh pun, Allah tak kan membiarkan kita sendiri. percayalah. 
layaknya kita yang dekat namun tak bertemu, akan ada sebuah kesalahan yang termaafkan namun tak terlupakan. perasaan yang terasa namun tak terwujud. hubungan yang kita damba namun tak kita miliki. harapan yang kita dambakan namun tak kita dapatkan. dan sebuah impian yang kita khayalkan namun tak juga kita rengkuh.
tetaplah tersenyum dan kumpulkan cerita-cerita hebat saat kita tak dipertemukan. nanti akan ada saat dimana kita bukan hanya bertukar berita namun juga berbagi cerita. 

saat segalanya runtuh seketika

samar ku rasakan hembusan nafas yang sama dari masa lalu. emnggapaiku dengan lembut. tanpa ku sadari, paksaan nya nyaris memenjarakanku. aku terhenyak, merasakan ternyata aku masih dapat berairmata.
dia datang bukan karena inginku. angih hangat yang menentramkan sanubari lemah yang pernah terguncang, dulu.. angin itu datang dengan sosok yang berbeda. meluluh lantakkan semua perjuangan yang telah ku tata dengan jeda yang amat panjang. bukan aku tak suka, dan bukan aku menikmati.
tolonglah angin, katakan apa maumu. akan ku lakukan keinginanmu tanpa aku harus menyakiti jika memang masih saling mencinta...

tembok yang kokoh runtuh dengan seketika karena kelembutan helaimu. tarian gemulai menyapa tiap gerakannya setiap kau hadir.dan mengapa kau datang denga angin yang berbeda? sosok yang berbeda? benang yang berbeda? kenapa kau tak datang dengan benang yang sama sehingga aku tinggal meluruskannya atau memotongnya sekalian. itu akan menjadi lebih mudah tanpa kita harus berputar-putar seperti ini.

untuk kali ini aku tak akan mengusirmu dari hidupku. aku akan membiarkanmu berhembus di sekelilingku tanpa aku harus menikmati setiap jengkal kelembutan belaimu.

Friday, 19 April 2013

mengajar tak selalu mendidik

satu pengalaman hari kemarin yang menimbulkan sebuah ketakutan yang teramat sangat bagi saya untuk menjadi penular ilmu untuk mereka. baiklah, sebenarnya ketakutan ini berawal dari kekecewaan saya atas satu individu yang seharusnya dapat menularkan ilmunya pada saya dan kawan yang lain. ya, itu yang ku harapkan. Namun pandangan "semua guru dapat mengajar namun tak semua guru dapat mendidik" itu muncul saat aku benar-benar tak mengerti tentang yang satu ini.
sungguh, aku hanya ingin mengerti. ku coba bertanya padanya. namun terhitung dalam tiga detik, bukan jawaban yang ku dapatkan, namun pandangan remeh. saat ku tanya kawanku apakah mereka bisa menjelaskan padaku, tak satu pun menjawab bisa. jika ku tulis, jawaban mereka adalah :
"yah, aku aja ngga ngerti dia ngomong apa"
"ngga, tan"
"hahahhahaha, ora lah. pelajaran opoo iki"
dan... sejak detik itu aku sungguh merasa takut untuk bertanya. aku takut malu hingga aku memutuskan untuk pura-pura mengerti. dimulai dari detik itu pula lah aku sangat takut untuk menjadi apa yang ku impikan, "penular ilmu". bisakah aku menjadi pendidik? atau aku hanya akan mengajar dan menghajar mereka dengan setiap kerumitan dan doktrin? aku takut jika nantinya aku tak mampu menjawab pertanyaan mereka hingga aku menutupinya dengan pandangan remeh.
mungkin aku hanya individu yang dihantui rasa takut yang berlebih. "lalu bagaimana kamu akan berhasil jika rasa takut selalu di dekatmu?", kata seorang kawan di seberang sana. aku sendiri tak mengerti bagaimana aku akan berhasil setelah ini, dengan segala ketakutan dan kekhawatiranku.

memori


sepagi ini aku mendapat sebuah celetuk kawan. berawal dari keinginanku mengikuti sebuah kegiatan yang disertakan memberikan buku pada adik2 kecil itu. ku tanya pada seorang kawan, apa berkenan jika kawan2 disini memberikan buku bekas yang sebetulnya masih layak baca. dan jawaban yang ditengahi canda itu terlontar.. 
“boleh, buku dari mantan juga boleh”
ah, ada perasaan ingin tertawa dan akhirnya memutuskan untuk kembali menjawab . “dia tak memberi ku sebuah buku, hanya memori masa lampau”..
aiih„ rasanya jawaban itu kembali mengingatkan ku pada memori-memori yang pernah tergambar nyata sebelumnya. segala memori yang telah ku coba untuk menumpuknya hingga tenggelam karena nyata yang sekarang. ku coba lihat tumpukan-tumpukan itu, mengapa memori itu tak terlihat?
kemanakah memori itu? dulu ku kira memori itu akan terus menjadi tumpukan teratas karena aku terlalu bahagia. ternyata sekarang bukan hanya ada di tumpukan terbawah, namun telah hilang karena terlalu banyak tumpukan baru, tumpukan kebahagiaan yang lebih dari memori itu. 
sekarang aku tau, tak perlu bersedih karena memori lampau. cukup berbahagialah atas hari ini dan esok yang kau tak tau akan menjadi seperti apa. namun yakinlah bahwa kebahagiaan akan tak datang sendiri, kebahagiaan terkadang butuh dijemput.