Friday, 16 August 2013

Rumah Impian

Hanya satu tempat yang akan ku tuju pada akhirnya untuk pulang, rumah.

Sudah menginjak tahun ke delapan aku berada di rumah ini. Satu per satu penghuninya datang dan pergi. Ada yang datang dengan sangat misterius, ada yang datang dengan tangisan, ada pula yang dengan tawa karena diajak oleh penghuni lainnya. Tapi beberapa sudah pergi, ah bukan pergi, hanya saja sudah menemukan bahagianya diluar sana. Mereka dijemput oleh orang yang belum benar-benar mereka kenal sebetulnya. Orang diluar sana sering menyebutnya dengan "diadopsi". Apapun itu, satu keyakinanku bahwa mereka akan mendapatkan kehidupan yang lebih layak bersama orang tua baru mereka. 

Senang dan sedih, bergantian ku rasakan. Tak jarang aku menangis kehilangan dan memberikan senyum sambutan di rumah impianku ini. Mungkin ini yang dirasakan oleh Ibu Rubi bertahun lalu saat aku masih diasuh olehnya di Panti Asuhan Aisyah. Dua puluh tahun aku berada di rumah itu bersama kawan-kawanku. Hingga aku lulus sekolah dan mendapat kerja, hingga dapat mendirikan Rumah Singgah Aisyah ini Sengaja aku memberi nama yang sama agar memberikan kenyamanan yang pernah ku rasakan sebelumnya. Bu Rubi memang sudah tak ada, namun jasa dan kebaikannya akan selalu terkenang dan ku persembahkan Rumah Singgah ini untuknya.

Sejak umur empat belas tahun, aku bermimpi untuk memiliki rumah singgah untuk anak-anak terlantar. Menyusuri setiap ruangan rumah ini, melihat beberapa anak berlarian di taman. Mendadak sekali ada satu yang ingin ku pertanyakan pada dua puluh empat anak disini. Aku panggil nama mereka dan ku kumpulkan semua di ruang belajar. Tanggap anak-anak mengambil kertas dan pensil yang sudah ku persiapkan di meja masing-masing. Sreett, Ciiit, papan dan kapur mulai beradu karena aku menggoresnya,

"Rumah Singgah Aisyah adalah rumah impian bunda. Bagaimana rumah impian kalian?"

Mataku mulai melihat sekeliling ruangan, Subhanallah ini anak-anakku, aku sangat menyayangi mereka. Aku mulai berjalan menghampiri mereka satu-persatu. Berbagai jawaban yang mereka tulis tentang rumah impian mereka. Ada yang ingin memiliki rumah sederhana dan hangat, ada yang ingin memiliki rumah dengan taman yang luas, ada yang ingin memiliki rumah seperti artis-artis ibukota yang harganya milyaran. Namun satu pemandangan berbeda saat tiba tepat di bangku ketiga dari depan. Seorang anak perempuan berusia dua belas tahun, Puti namanya, belum menuliskan apapun di kertasnya. Aku coba bertanya mengapa ia tak menulis.

Puti mulai melihat ke arahku dan bertanya, "Apa bunda akan mengusir Puti dari rumah ini?"

"Tidak, nak. Bunda hanya ingin tahu rumah impian kalian, termasuk Puti. Siapa tahu nanti ada yang menjemput dan mengajak Puti ke rumah impian," jawabku tegas.

Matanya berkaca, namun jawabnya tetap tegas, "Bunda, bisa berada di rumah ini saja Puti masih merasa seperti mimpi, apa pantas Puti memiliki impian lain? Jika pantas, Puti bermimpi tetap menjadikan rumah ini sebagai impian Puti, bersama Bunda."

Mataku terpejam, memeluk gadis menggemaskan ini, merasakan detak jantungnya. Jangan tinggalkan Bunda, Puti. Bunda menyayangimu, juga teman lainnya. Terimakasih atas jawaban tegasmu. Dan mulai detik ini, aku bertekad akan menjadikan rumah ini tetap sebagai impianku, bersama anak-anakku. Ku seka airmata, melihat jatuh tepat di mata Puti sembari memberikan senyum, dan ku lanjutkan melihat jawaban lainnya dengan segala mimpi-mimpiku untuk mereka.

Rumah Singgah Aisyah, bersama mereka yang ku cinta. 

No comments:

Post a Comment