Thursday, 22 August 2013

Dalam Pelukan

Aku melihat satu laki-laki melewati ruanganku, orang yang sama dengan kemarin dan hari-hari sebelumnya. Biasanya di pagi hari begini ia memasuki semua ruangan yang ada di bangunan ini. Sengaja aku tak menyapanya, sudah terlalu sering mungkin justru membuatnya bosan nanti. Berjalan ke luar ruangan, masih segar sekali dan aku menyukainya. Hanya di pagi hari begini aku ingin keluar kamar sebelum tempat ini penuh dengan banyak orang yang selalu mencari-cari.

"Hey, Mel. Segar sekali pagi ini ya," sapaan laki-laki itu membuyarkan ketenanganku.

"Iya, seperti pagi-pagi yang lalu, kan? Sebelum dia datang," jawabku pelan.

"Kamu masih tidak ingin menemuinya, Mel?" ia menanyakan sesuatu yang paling aku benci.

Aku hanya terdiam, merasakan kecambuk perasaan di hatiku sendiri serta segala hitam yang membuatku seperti ini. Masih haruskan aku bertemu dengannya? Masih pantaskah aku? Ini bukan lagi perkara rindu dan ingin bertemu. Sungguh aku tak pernah menyangka akan ada di tempat ini yang akhirnya membuatku sengaja mengasingkan diri, meski mereka datang.

"Mel, memangnya ada apa? Ia merindukanmu. Hampir setiap hari ia datang kesini untukmu."

"Aku pun merindukannya, tapi aku punya alasan sendiri kenapa aku tidak ingin menemuinya. Apa kamu ingat dulu banyak sekali yang datang kemari untukku? Sekarang hanya dirinya, dan aku yakin sebentar lagi ia bosan dan mundur perlahan," tanpa ku sadari aku berair mata.

"Tidak akan. Ia pernah mengorbankan hidupnya untukmu bertahun lalu, dan aku yakin ia tidak akan menyerahkan keputus-asa-annya hanya karena kau tidak menemuinya. Temuilah, meski hanya tiga menit. Kamu rindu, bukan?" kata-katanya mulai menegas namun tetap lembut.

Laki-laki itu meninggalkanku sendiri tetap di depan ruanganku, berdiri dan berair mata. Tak jarang aku menangis, hanya saja ini kali pertamaku menangis karena rindu. Aku dapat merasakan bahwa aku benar-benar merindukannya. Aku sering mendengar suaranya memintaku membukakan pintu untuknya namun aku tak lagi melihat sosoknya. Sosok yang tak pernah lelah datang dengan serantang makanan untukku. Aku merasakan masakannya namun lagi dan lagi aku tak melihat bagaimana binar wajahnya setiap saat.

Sebentar lagi ia pasti datang dan aku masih berpijak disini tak ingin masuk ke ruangan lagi. Mungkin memang ini saat yang tepat untuk menemuinya. Aku sungguh rindu melihatnya berjalan, tersenyum, membelai wajahku. Sengaja aku menunggunya pagi ini setelah perbincangan dengan laki-laki tadi. Semoga ia masih ingin datang.

Di kejauhan aku melihatnya, dia yang sungguh aku rindukan. Aku tak dapat mengingat berapa lama aku menghindarinya dan aku tak dapat melihat rona bahagia di wajahku saat ini. Namun sepagi ini aku disuguhkan dengan pemandangan yang sungguh indah, melihat wajah serupa bidadari surga. Mengenali caranya berjalan yang sungguh mengagumkan. Secepat kilat ia mendekat, meletakkan rantang yang dibawanya di kursi yang ada di sebelahku. Dan pelukan itu mendarat di tubuhku.

"Melisa rindu ibu, sungguh," masih di pelukannya aku tersedu.

"Ibu juga rindu Melisa. Kamu tambah cantik ya, Nak. Sudah lama ibu tidak melihatmu, memelukmu seperti ini. Apa salah ibu hingga Melisa tidak pernah ingin menemui ibu? Ibu minta maaf," kata ibu yang masih memelukku dan menangis.

Aku melepaskan hangat pelukan ibu lalu berlutut di hadapannya, bersujud di kakinya, "Melisa malu, bu. Melisa malu sudah mempermalukan ibu. Apa ibu tidak malu setiap hari datang ke panti rehabilitasi narkoba seperti ini? Apa kata orang diluar sana, bu? Maafkan Melisa. Tolong maafkan Melisa telah membuat ibu malu."

Ibu membangunkan aku dari sujudku dan berlutut di depanku, lalu membenamkan aku dalam pelukannya. Perlahan sebuah jawaban terlantun indah, "Melisa Kusuma Firdausi, dengarkan ibu, Nak. Apapun yang terjadi, kamu...tetap...anak...ibu."

No comments:

Post a Comment