Sunday, 14 July 2013

Mantan Dermawan Negeri

Sial!! Mereka pikir mencari uang itu mudah? Masih memakai uang orang tua saja sombong sekali. Hey, nak, nanti saat kau sudah besar, kau akan mengerti bagaimana susahnya mencari seribu rupiah. Kau akan tau susahnya berfikir untuk membayar hutang-hutangmu. Lihat saja. Janganlah kau sombong sekarang. Ah sudahlah, biar mereka bersenang-senang dahulu. Mungkin mereka masih membanggakan putih abu-abunya.

Rentetan produsen asap masih saja bertahan di posisinya. Tapi aku, di antara langkahku sepagi ini, sudah ingin saja rasanya ku kibarkan bendera putih tanda menyerah. Tak apa, aku masih terus berjalan. Berusaha melanjutkan hidup, meski tak selalu aku mendapat yang ku inginkan. Debby menungguku, membawakan si pengisi perut. Bersabarlah, aku kan pulang dan membuat bentuk bulan sabit pada bibirmu. Masih terus menopang tubuhku, membebani kedua kaki dengan keinginanku untuk terus dan terus berjalan mencari mereka yang lain. Di depan sana, ya aku melihatnya. Irama laju langkahku sendiri dapat ku dengar, dan..sampai. Belum aku mengatakan sesuatu atau melakukan apapun, mereka melambaikan tangan dan berlalu.

Terkutuk kau! Begitu hinanya aku di matamu kah sampai kau menjauh tanpa sedikitpun tanda?? Bahkan salah satu dari kalian menutup hidung. Sialan! Awas kau! Nanti, lain kali kau bertemu aku, akan ku tutup hidungku dan ku ludahi wajahmu! Jijik aku melihatmu. Congkak! Jangan kau terus berjalan sembari mengangkat dagumu. Apa yang kau lihat? Langit? Tinggi nian, padahal ada tanah, sudah kau injak namun tak pernah kau lihat. Cuih! Persetan dengan kelakuanmu!

Sudah berubah warna bajuku karena keringat, basah. Masih saja si kanan kiri mengayun bergantian demi susur kota, untuk Debby. Tap Tap Tap. Terus dan terus irama kaki itu yang menjadi idolaku, setiap harinya. Masih mencari, masih semangat, meski tak ada lagi senyum tersungging. Hobi sekali penerang bumi ini membuatku basah karena panas dan keringat. Ku cari bangunan dengan jam atau apapun yang membuatku tahu jam berapa sekarang. Hari ini, aku melewati jalur yang berbeda, mungkin saja peruntunganku juga berbeda. Semoga. Gedung yang aku cari ada di seberang sana rupanya. Tapi ada yang mencuri mataku, segerombol orang berkelas dan barisan rapi puluhan mobil kinclong. Aku lupa sejenak tentang jam dinding dan dengan senyum ku beranikan diri menghampiri mereka. Lagi, bukan cuma lambaian tangan tapi juga cemoohan kali ini. Begini katanya "mba, mba, mbok ya kerja yang bener. Jangan cuma tangan dibawah. Nanti hak saya jadi punya kamu dong." Lalu pergi.

Brengsek!! Kau yakin itu hakmu? Hah? Bajingan kau! Sudah merasa jadi Tuhan rupanya. Baru jadi bawahan presiden saja sombong kali kau. Bajingan! Aku mengambil hakmu? Hak berapa orang di negeri ini yang kau ambil? Berapa kawanmu sudah masuk jeruji besi karena mengambil hak KAMI??!? Tapi ku lihat tak satupun kawanku mengikuti jejak kalian meski katanya kami mengambil hak kalian. Terus saja kau banggakan jas dan mobil mewahmu! Kau pikir lapangan pekerjaan di negara ini sudah sepadan dengan penduduknya? Kalau iya, mengapa kami tak mendapat? Mengapa kami masih saja menjadi sampah masyarakat seperti ini? Hei, para pemimpin negeri, banyak anak negara yang kau acuhkan! Ingat itu!

Aku hapus lusuh noda di bajuku, sedikit bermain mata dengan saku yang mendapat rezeki dari dermawan pagi tadi. Lima ribu rupiah. Lupakan setan-setan negeri itu, aku harus pulang. Debby, malaikat kecilku, ibu pulang nak. Membawa sesuatu untuk dicerna oleh perut mungilmu. Ibu pulang, nak.

No comments:

Post a Comment