"Harus berapa kali lagi aku katakan, aku masih sayang kamu. Sampai sekarang," ucapku pada pria yang terus saja menolak untuk melihat ke arahku.
"Cukup!!! Aku tak ingin dengar kata itu lagi! Bisa kamu hilangkan kalimat itu?" jawabnya.
Aku tersentak. Dia, pria yang menemaniku bertahun-tahun. Dia yang tak henti menjadi senja dan fajar untukku. Tega sekali ia bicara dengan nada sekasar itu. Bahkan ia memintaku untuk berhenti mengatakan kalimat kesukaannya. Apa ia sudah berhenti menaruh hatinya padaku? Bahkan tak bersisa? Hatiku seperti di lempar ke pulau terjauh dari tempatku berpijak. Jika memang tak ia berkenan lagi dengan semua ini, biar hatiku yang bicara.
Aku sudah menyanyi
Tapi kau tak lekas menari
Aku pun sudah menangis
Tapi kau tak juga peduli
Haruskah aku menyanyi sambil menangis?
--------------------
"Cukup!!! Aku tak ingin dengar kata itu lagi! Bisa kamu hilangkan kalimat itu?" jawabku.
Astaga. Apa yang sudah aku lakukan? Sentakanku pasti membuatnya terkejut. Maafkan aku, gadisku. Aku pun masih menyayanginya, hingga saat ini. Namun apa yang bisa kita lakukan? Dia sudah mendekati hari bahagianya, cincin akan segera tersemat di jari manisnya. Aku tak ingin merusak segala rencana orang tuanya ini. Sudah tidak seharusnya ia menyayangiku setelah perjodohannya dengan pria pilihan orang tuanya. Jika memang ada tembok yang membatasi kita, biar hatiku yang bicara.
Aku memujanya
Bayang semu yang redup
Namun terang mimpinya, cintanya
Selalu menjadi nyata bagiku
Aku mencintanya
Gadis yang selalu memukau
---------------------
"Maaf," ucapnya lagi.
"Maaf untuk apa? Apa salahmu? Aku yang salah. Aku sudah dipilihkan pria terbaik oleh ibu dan ayah tapi aku masih saja menyayangimu, maaf," jawabku lirih.
"Maaf untuk nada tinggiku, maaf karena aku tak pernah bisa mempertahankanmu, maaf karena aku tak pernah membahagiakanmu," ia berkata tanpa berfikir sedikitpun. Semua mengalir begitu saja.
Aku tak tahu harus bahagia atau sedih. Kalimat terakhirnya membuatku mengerti bahwa ia pun menyayangiku. Aku pun mengerti tak akan ada yang bisa ia lakukan untuk mempertahankanku, sama. Aku tak akan memaksanya, biar rasa ini masih disini. Aku sudah memutuskan, bersama kedua orang tuaku.
"Tidak. Kau sudah mempertahankanku hingga detik ini. Sadarkah kau selalu menemaniku? Membahagiakanku. Terimakasih karena selalu ada." berjuta terimakasih yang belum terucap, ia pasti tahu.
"Terimakasih sudah mempercayaiku. Berjanjilah padaku kau akan bahagia, bersamanya." pintanya padaku. Mungkin akan jadi permintaan terakhir darinya.
Aku tak kuasa menahan air mata. Sudah cukup rasanya aku mendengar cap cip cup salam perpisahan yang terucap. Aku memeluknya, pria impianku, namun bukan impian orang tuaku. Aku ingin bahagia kali ini, sekali saja. Ia juga pasti bahagia dalam pelukku, ku pertahankan. Biar aku seperti ini terus memeluknya. Biar aku membahagiakannya sementara saja jika tak mungkin selamanya. Biar aku bahagia dengan kecambuk di hatiku. Andai saja kata itu terucap, mungkin bahagiaku kan melebihi segalanya meski nantinya harus berpisah. Tak ada lagi yang mampu ku ucapkan, hanya peluk dan isak tangis.
"Biar hati kita yang bicara," aku putuskan ini kata terakhir dariku, masih menunggu jawaban darinya, pria impianku.
"Aku menyayangimu, hatiku yang bicara," terbata ia mengucapkannya, menyisakan senyum dalam tangisku.
Aku pun menyayangimu, ucap hatiku tanpa lisanku.
No comments:
Post a Comment