Monday 6 January 2014

Merah mungil yang masam

"Seperti apa kamu terlatih, pertahankan jika baik, ubahlah jika belum baik."

Kata-kata itu masih saja terdengar di telingaku, kata darimu. Ada perih tergores dan berat dalam kata yang ku ucap. Seorang gadis berwajah lokal yang sedikit sendu. Bermata sayu. Rambut yang selalu tergerai indah, ikal, ah cantiknya kau. Semua memori itu berputar, terulang, lagi dan lagi di otakku. Mengingat semua yang kita bicarakan, semua yang kita lalui. Tentang bagaimana kita merayakan hari lahir kita bersama. Tentang enam tahun yang tak selalu indah namun menghadirkan berjuta ragu, haru, dan manis yang melebihi madu.

Pantai dan strawberry yang kita nikmati bersama. Menjagamu saat sakit, kau tunggu saat terlelap, tersenyum saat saling tatap. Itu sungguh indah, semoga kau merasakan, aku rindu kau yang dulu. Entah dari mana awalnya, kita seakan dipaksa untuk menjauh. Sesuatu yang aku tau dan mungkin kamu tidak tahu itu membuatku sungguh tak ingin melihatmu, meski aku rindu. Ada kebencian yang teramat saat orang terdekatmu ingin mengambil yang ku miliki untukmu. Aku tau itu bukan kau. Tapi aku tak mampu menyembunyikan semuanya,

Dalam bilik, diatas meja kerjaku, pagi ini ku temukan kotak plastik penuh strawberry. Mendekati hari bahagia kita, ah bukan..hari bahagiaku. Mungkin ini dari kawan bilik sebelah atau yang lain. Siapapun itu, terimakasih.

------------------------------

Jalan yang selalu kita lalui bersama, aku mengingatmu lagi. Hingga sampai pada gerbang yang ku tuju, rumahku. Aku masih memikirkanmu, tidakkah kau menyadari perubahan sikapku padamu? sedikit saja. Dan di ruanganku, sepetak kamar tidur yang menjadi tempat favoritku, aku menemukan lagi sekotak penuh dengan strawberry, kali ini lebih besar.

"ayah, siapa yang menaruh strawberry di kamar Lian?"

"Tidak tahu, ayah juga baru saja tiba," jawab ayah.

"ayah mau? kita makan strawberry bersama yah. temani Lian," ajakku seolah aku benar-benar ingin membaginya dengan ayah.

"sudahlah Lian, hubungi Ika. ayah tau kau merindukan sahabatmu itu."

Aku hanya menjawabnya dengan senyuman. Aku memang sangat merindukannya, tapi aku belum bisa memaafkannya, Ia pun sama sekali tak menghubungi meski sekedar menanyakan kabarku. Rupanya aku memang ingin menghabiskan buah kesukaanku ini sendirian.

------------------------------

Esok harinya rutinitasku masih ku lakukan. Diawali dengan susu coklat hangat dan dua buah strawberry. Aku belum menemukan semangatku yang dulu. Belum. Karena aku kehilangan salah satu orang yang ku sayang. Gadis dengan rambut indah itu, Widuri Ika Maharani, sahabatku. Seusai mandi dan sarapan, sudah ada lagi sekotak penuh strawberry di dapur. Kali ini lebih kecil, hanya berisi lima buah.

Aku memakannya satu persatu, perlahan. Hingga aku merasa tidak biasa dengan semua keberadaan strawberry ini. Di manapun dan kapanpun. Aku ingin tau siapa yang menaruhnya. Pada buah ketiga, ku pandang sejenak, lebih mungil dari empat lainnya namun warnanya lebih merah. Ku coba menggigitnya sedikit, "ah strawberry macam apa ini, masam sekali, sudah lah aku berangkat saja," ucapku mengumpat si merah mungil yang masam. Dan saat aku berbalik badan,

"Ika.." aku melihat sosok yang sangat ku rindukan disana. Tapi ada kebencian hingga aku enggan untuk melangkah.

"Itulah hidup. Sebanyak apapun manis yang kau rasa, sebesar apapun hadiah dan kebahagiaan yang kau terima, kau akan merasa aneh jika kuantitasnya berubah dan manisnya berubah menjadi masam. Bahkan kita seringkali berhenti dan tak mencoba lagi karena takut atau tak ingin mengulang masamnya, seperti dua strawberry yang kau tinggalkan," Ika mencoba menjelaskan tapi aku tak menangkap apa maksudnya.

"Maksudmu?"

"Aku tau kau marah padaku. Bukan aku tak rindu, bukan aku tak peduli. Aku masih bertahan pada masam itu, sepertimu. Hingga aku ingat tentang seperti apa kita terlatih, bicara. Aku memulainya,"

"Mengapa strawberry? Mengapa kau samakan amarahku dengan buah kesukaanku ini?" aku masih saja membantah semua yang dikatakan ika.

"Lian, sahabatku, bisakah kita coba memakan dua strawberry yang tersisa ini? Bisakah kita mejadi Ika Lian lagi? Bukan hanya Ika atau hanya Lian."

Tak ada lagi yang mampu ku ucapkan. Bulir air meyentuh pipiku. Tangan Ika menggapai tubuhku. Aku merindukannya, gadis berambut panjang yang selalu terurai. Biar kita lupakan masam itu, amarahku. Karena kita masih memiliki manis untuk dinikmati bersama, bukan hanya aku dan bukan hanya kamu. Kita yang selalu terlatih untuk bicara dan mendengar. Kita yang akan berlatih lebih mengerti dan peka, lalu mempertahankan manisnya.

Sunday 24 November 2013

Just Believe!!

Ada satu rasa yang sulit sekali ku lewati, karena ini menyakitkan. Mungkin sudah berulang kali aku mengatakannya dan si pendengar pun sudah hampir bosan mendengarnya. Tapi sungguh tidak ada rasa lain yang lebih menyiksa daripada yang satu ini. Sudah berapa pekan ku lalui tanpa sedikitpun terlepas darinya. Tapi ada saat dimana aku merasa rasa ini sungguh nikmat. Membuatku sadar bahwa ada sesuatu yang lebih sehingga aku dapat merasakannya. Mungkin karena sebuah pertemuan, canda, tawa, suka, duka, tangis, atau mungkin perpisahan. tapi lihat.....

TENTANG KITA
Pahit. Pekat. Nikmat.
Pada gelap ku berharap
membuat getir rasa menjadi kuat
Ah, tak apa. Rindu selalu nikmat
Malam. Rasa. Rindu.
Malam dengan gemintangnya
Rasa dengan keajaibannya
dan rindu yang selalu memukau

Tentang kita
Meski jarak tak lagi berdekatan
Meski mata tak saling menatap
yakinlah semua akan baik-baik saja
rasa yang kita bawa selalu sama
Dan ku pastikan langkah-langkah kecilku disana
Menjaga kalian dengan cara yang sederhana

---------------------------------------------

Tanpa ku sadari ada yang tertinggal, hati. Tanpa ku pahami ada yang selalu memberontak, rindu. Mungkin aku terlalu berlebihan,biarlah. Ini hanya tentang rasa. Rindu ini memiliki alasan. Bukan karena aku berpisah atau karena tak bersama. Tapi alasannya hanya karena aku yakin, aku tidak benar-benar pulang. Aku pergi dan meyakinkan hatiku bahwa aku akan kembali. Percaya bahwa tangis ini hanya sementara. Yakin bahwa pertemuan selanjutnya pasti ada. Dan percayalah semua akan baik-baik saja.

Sunday 10 November 2013

Kalian

Walau makan susah
Walau tidur susah
Walau tuk senyum pun susah
Rasa syukur ini karna bersamamu juga susah dilupakan
Oh ku bahagia..

Sebait istimewa dari lagu ini mengingatkan aku pada satu hal yang belum aku lakukan hari itu, bersyukur. Entah apa yang membuatku begitu bahagia hari itu meski perut lapar, mata masih ingin terpejam karena aku tiba terlalu pagi di kota istimewa, Makassar. Belum banyak yang ku sapa, belum banyak yang ku ucap, belum banyak yang ku lihat, namun bahagia ku sudah sangat membuncah. Kalian, meraka, dan aku, bersama di satu ruang penuh keajaiban. Menyatukan sekian banyak hati dengan berbagai kisah dan kasih.

Empat hari berlalu begitu cepat dengan segala riuh ramai kita. Perjalanan yang tak pernah sepi dari suara tawa dan celoteh kalian. Aku bingung bagaimana bisa aku mengabadikan semua ini. Tapi aku memilih mengurangi intensitas penggunaan kamera. Biar mataku mengabadikan setiap gerak kalian, biar telingaku mendengar setiap kata dari kalian, biar memoriku merekam semuanya hingga sempurna. Kalian tau, ada sebuah detail yang tertangkap dari setiap kepribadian kalian.

Kalian, terimakasih sudah hadir, menemani dan mengantar. memberiku kebahagiaan yang tak terhitung. Kalian yang mengantarku dengan senyum, terimakasih. Biar rindu yang mengantarku kembali. :')

Tuesday 3 September 2013

Coba Lihat, Dengar, dan Pahami

Masih enggan sang mentari membagi cahayanya, namun sudah ramai saja seseorang membagikan semangatnya. Di gelap dan dingin pagi seusai subuh ini terlihat sosok wanita paruh baya sudah sibuk dengan beberapa panci, termos, dan beberapa cangkir kosong khas "tea time". Di rumah ini, ia biasa dipanggil dengan sebutan ibu. Bukannya kembali ke tempat tidur karena terlalu lelah semalam, ibu justru bangun lebih awal untuk menyiapkan semuanya.

"Nak, ayo bangun. Sudah jam lima lebih. Seingat ibu, kamu kuliah pagi, kan, hari ini?" Ibu mencoba membangunkan anak tunggalnya, Anya.

"Hm," Anya menjawab singkat dan tidak jelas karena masih terlalu nyaman di balik selimut.

Setelah Ibu keluar dari kamarnya, Anya segera beranjak ke kamar mandi dan segera bersiap. Tidak banyak yang Anya lakukan karena ia termasuk gadis berambut panjang yang acuh pada penampilan. Ia biasa pergi ke kampus dengan kemeja, celana jeans, sneakers dan rambut panjang diikat sekenanya. "Ibuuuu, apa ibu lihat map Anya yang warna kuning? Kemarin Anya taruh disini," tanya Anya sambil menunjuk ke meja di ruang tamu lalu sibuk mencari-cari.

"Anya sarapan dulu. Mapnya sudah ibu simpan. Ibu takut mapnya hilang, jadi ibu taruh di meja kerja abi," jawab Ibu lembut.

Fyuuhh, lega sekali hati Anya. Ia tersenyum, menghampiri sang Ibu dan mencium pipi kiri Ibu, "Terima kasih Ibu sayang. Abi mana bu? Yuk sarapan."

Tiga orang di satu meja, menghabiskan sarapan masing-masing sambil bercerita. Kemarin Abi menyelesaikan berkas yang tertunda di ruang kerja, menemani Ibu makan, kembali ke ruang kerja, lalu menunggu Anya pulang. Sedangkan Anya seperti biasa sibuk dengan kuliah dan kegiatannya di kampus lalu sampai rumah yang tersisa hanya lelah dan langsung menuju tempat tidur, begitu setiap harinya. Dan Ibu, jawabannya hanya "Ibu kan sudah paten di rumah, cuma sedikit kok pekerjaannya." Lalu Ibu tersenyum.

---------------------------------------

"Assalamualaikum, Ibuu.. Abi.." Anya masuk rumah dan menaruh sepatu di dekat sofa. 

Setelah bersantai selama lima menit, Anya baru sadar bahwa ia belum mendengar jawaban dari Abi dan Ibunya. Anya mencari sekeliling rumah, namun Abi dan Ibu juga tidak ada. Segera Anya menelepon Ibu, tapi tidak biasanya telepon genggam Ibu justru tergeletak di meja makan. Lalu ia menelepon Abi, menunggu nada sambung berubah menjadi suara Abi. Tidak pernah Anya sekhawatir ini. 

"Assalamualaikum, Nak," syukurlah Abi segera menjawab telepon Anya. 

"Waalaikumsalam, Abi. Abi sama Ibu dimana? Kenapa telepon ibu ditinggal? Abi dan Ibu baik-baik, kan?" tanya Anya tanpa henti dan tidak memberikan kesempatan pada Abi untuk menjawab. 

"Anya, dengar Abi, Nak. Abi baik-baik saja. Abi masih bisa angkat telepon Anya. Tapi Ibu...," Abi menghentikan kalimatnya. Membuat Anya semakin khawatir.

"Ibu kenapa, Bi?"

Suara Abi terdengar semakin berat, "Ibu tadi pingsan saat menyiapkan makan malam. Kata dokter, Ibu terlalu lelah dan sebetulnya sudah beberapa kali ke puskesmas tanpa sepengetahuan Anya. Apalagi Ibu punya darah rendah. Mungkin sudah waktunya Ibu istirahat dulu. Tapi nanti Abi dan Ibu pulang. Anya bisa siapkan makan sendiri, nak?"

"B..i..s..a.. B..i..," jawab Anya yang tak mampu lagi berkata-kata.

Setelah menutup telepon Abi, Anya masih terdiam di sofa, menyandarkan tubuhnya. Anya berfikir, Anya selalu berangkat pagi dan pulang malam. Tapi ia baik-baik saja. Padahal kegiatannya di kampus cukup menguras tenaga dan pikiran. Mengapa Ibu yang hanya di rumah bisa sakit? Anya mengedarkan matanya ke seisi rumah. Bersih, tidak pernah kotor sedikitpun. Ini, ya..ini yang Ibu lakukan. Ibu tak pernah sedikitpun mengabaikan rumah, Abi, dan Anya. 

Anya tidak pernah tahu apa yang Ibu benar-benar lakukan. Bagaimana lelahnya membersihkan seisi rumah setiap harinya. Yang Anya tahu, Anya selalu menikmati masakan Ibu yang enak setiap pagi, Anya kuliah, dan Anya lelah saat pulang malam. Ibu selalu bertanya apa ada yang bisa Ibu bantu atau sekedar Ibu dengar ceritanya. Namun Anya tidak pernah sedikitpun bertanya apa yang Anya harus lakukan untuk meringankan pekerjaan Ibu di rumah.

Malam itu juga Anya sedikit saja menghilangkan rasa lelah sisa-sisa kegiatan hari ini. Setelah membersihkan diri, ia langsung menuju ke dapur dan menyiapkan apa saja yang bisa ia masak. Tidak lama setelahnya, Abi dan Ibu pulang. Mereka makan bersama dengan menu seadanya dan rasa yang ada-ada saja masakan Anya. 

"Ibu, Anya punya banyak cerita. Hari ini Anya berkegiatan, tapi Anya mulai suka di dapur sepertinya, jadi biar Anya yang menyiapkan sarapan besok pagi dan seterusnya. Dan Anya akan pulang lebih awal untuk menyiapkan makan malam....,"

Anya bercerita tanpa henti hingga membuat Abi dan Ibu hanya bisa tersenyum mendengarnya. "Terima kasih, cantik. Tapi Anya kan sibuk," kata Ibu. 

"Lebih baik Anya sibuk di rumah tapi Ibu sehat daripada Anya sibuk diluar tapi Ibu sakit begini."

---------------------------------------

Ibumu pasti mengerti kalau kamu sibuk, tapi mengertilah bahwa Ibumu sudah tua.

Thursday 29 August 2013

anonymous

Ingatkan aku tentang satu momen di tahun lalu, satu tanggal di tahun ini, satu rencana di tahun depan, dan satu mimpi di tahun berikutnya.

Aku pernah berkata tentang hati, cinta, suka, dan harapan, meski tak bersamamu. Namun ternyata bersamamu aku temukan bahagia, kejujuran, dan rasa yang apa adanya. Aku tak pernah memaksanya ada. Bahkan saat kita tak bersama, beberapa bulan lalu. Masih selalu ku selipkan namamu dalam doaku, bukan berharap kamu ada tapi berharap kamu baik-baik saja.

Kamu, laki-laki yang pernah membuatku berada di atas awan, lalu menghempaskanku. Laki-laki yang jarang sekali menatap mataku, apalagi berbincang denganku. Aku hanya tau tentang kamu dan studi yang sedang kamu jalani. Aku tak pernah ingin tahu kemana kamu pergi saat itu, meski aku tau kamu punya tujuan. Ku biarkan kamu cari bahagiamu, semangatmu. Namun rupanya kamu tak pernah bahagia, begitu katamu.

Dan kamu kembali, dengan segala tingkahmu yang berbanding terbalik dari tahun lalu. Semua ucap mesra yang tak henti menjadi bunga hariku serta tatap mata yang mulai sering ku lihat. Aku tahu ada harapan disana, meski sempat aku berfikir untuk menjauh tapi aku tak mampu. Aku memang pernah terjatuh karenamu, dan cinta yang menguatkanku untuk bertahan sampai saat ini.

Selesaikan studi secepatnya. Lalu kembalilah dalam mimpi-mimpi masa depanmu, mungkin kita. Jangan pernah berhenti tersenyum dan tertawa karenaku. Dan semoga airmata itu.....airmata kebahagiaan. Sungguh aku tak mampu membayangkan jika aku yang membuatmu menangis, maafkan aku. Ingat janji kita untuk tetap saling mengingatkan, bicara, ada, dan bertahan. Semoga.

Terimakasih untuk semua perlakuan istimewa yang tak pernah terbayang sebelumnya.

:')

Thursday 22 August 2013

Dalam Pelukan

Aku melihat satu laki-laki melewati ruanganku, orang yang sama dengan kemarin dan hari-hari sebelumnya. Biasanya di pagi hari begini ia memasuki semua ruangan yang ada di bangunan ini. Sengaja aku tak menyapanya, sudah terlalu sering mungkin justru membuatnya bosan nanti. Berjalan ke luar ruangan, masih segar sekali dan aku menyukainya. Hanya di pagi hari begini aku ingin keluar kamar sebelum tempat ini penuh dengan banyak orang yang selalu mencari-cari.

"Hey, Mel. Segar sekali pagi ini ya," sapaan laki-laki itu membuyarkan ketenanganku.

"Iya, seperti pagi-pagi yang lalu, kan? Sebelum dia datang," jawabku pelan.

"Kamu masih tidak ingin menemuinya, Mel?" ia menanyakan sesuatu yang paling aku benci.

Aku hanya terdiam, merasakan kecambuk perasaan di hatiku sendiri serta segala hitam yang membuatku seperti ini. Masih haruskan aku bertemu dengannya? Masih pantaskah aku? Ini bukan lagi perkara rindu dan ingin bertemu. Sungguh aku tak pernah menyangka akan ada di tempat ini yang akhirnya membuatku sengaja mengasingkan diri, meski mereka datang.

"Mel, memangnya ada apa? Ia merindukanmu. Hampir setiap hari ia datang kesini untukmu."

"Aku pun merindukannya, tapi aku punya alasan sendiri kenapa aku tidak ingin menemuinya. Apa kamu ingat dulu banyak sekali yang datang kemari untukku? Sekarang hanya dirinya, dan aku yakin sebentar lagi ia bosan dan mundur perlahan," tanpa ku sadari aku berair mata.

"Tidak akan. Ia pernah mengorbankan hidupnya untukmu bertahun lalu, dan aku yakin ia tidak akan menyerahkan keputus-asa-annya hanya karena kau tidak menemuinya. Temuilah, meski hanya tiga menit. Kamu rindu, bukan?" kata-katanya mulai menegas namun tetap lembut.

Laki-laki itu meninggalkanku sendiri tetap di depan ruanganku, berdiri dan berair mata. Tak jarang aku menangis, hanya saja ini kali pertamaku menangis karena rindu. Aku dapat merasakan bahwa aku benar-benar merindukannya. Aku sering mendengar suaranya memintaku membukakan pintu untuknya namun aku tak lagi melihat sosoknya. Sosok yang tak pernah lelah datang dengan serantang makanan untukku. Aku merasakan masakannya namun lagi dan lagi aku tak melihat bagaimana binar wajahnya setiap saat.

Sebentar lagi ia pasti datang dan aku masih berpijak disini tak ingin masuk ke ruangan lagi. Mungkin memang ini saat yang tepat untuk menemuinya. Aku sungguh rindu melihatnya berjalan, tersenyum, membelai wajahku. Sengaja aku menunggunya pagi ini setelah perbincangan dengan laki-laki tadi. Semoga ia masih ingin datang.

Di kejauhan aku melihatnya, dia yang sungguh aku rindukan. Aku tak dapat mengingat berapa lama aku menghindarinya dan aku tak dapat melihat rona bahagia di wajahku saat ini. Namun sepagi ini aku disuguhkan dengan pemandangan yang sungguh indah, melihat wajah serupa bidadari surga. Mengenali caranya berjalan yang sungguh mengagumkan. Secepat kilat ia mendekat, meletakkan rantang yang dibawanya di kursi yang ada di sebelahku. Dan pelukan itu mendarat di tubuhku.

"Melisa rindu ibu, sungguh," masih di pelukannya aku tersedu.

"Ibu juga rindu Melisa. Kamu tambah cantik ya, Nak. Sudah lama ibu tidak melihatmu, memelukmu seperti ini. Apa salah ibu hingga Melisa tidak pernah ingin menemui ibu? Ibu minta maaf," kata ibu yang masih memelukku dan menangis.

Aku melepaskan hangat pelukan ibu lalu berlutut di hadapannya, bersujud di kakinya, "Melisa malu, bu. Melisa malu sudah mempermalukan ibu. Apa ibu tidak malu setiap hari datang ke panti rehabilitasi narkoba seperti ini? Apa kata orang diluar sana, bu? Maafkan Melisa. Tolong maafkan Melisa telah membuat ibu malu."

Ibu membangunkan aku dari sujudku dan berlutut di depanku, lalu membenamkan aku dalam pelukannya. Perlahan sebuah jawaban terlantun indah, "Melisa Kusuma Firdausi, dengarkan ibu, Nak. Apapun yang terjadi, kamu...tetap...anak...ibu."

Saturday 17 August 2013

Selamat Datang dan Selamat Jalan

Selamat Datang di Kota Apel, Bang Faizan, Teteh Deti, dan Mba Upay.

Itu kalimat yang tanpa sengaja ku ucap dalam hati, 15 Agustus 2013 di rumah tercinta. Pagi ini, aku menunggu seorang menjemputku untuk menemui mereka. Tak sabar rasanya menanti jam keberangkatan dan penyambutan. Surabaya-Malang dalam 4 jam, lalu Malang-Goa Cina dalam 3 jam, total 7 jam perjalanan hingga aku benar-benar melihat sosok mereka. Saling sapa, senyum, salam dengan mereka, tak lupa ku kenalkan lelaki yang bersamaku saat ini.

Kegiatan hari ini dimulai dengan MAKAN!! Bang Faizan, Mas Fikry, Faris Digory, Faris Kasela (begitu kami menyebutnya), Teza, Teh Deti, Mba Upay, Intan, Aditya di satu meja. Senang tiada tara bisa melihat senyum mereka semua. Lalu kami memutuskan untuk MAIN AIR. Sebetulnya di bayanganku, main air adalah berjalan di bibir pantai sembari membasahi kaki, namun rupanya tarik-menarik hingga basah dari kepala hingga kaki lebih seru, bersama orang-orang tersayang.

Tak terasa sudah mendekati maghrib, maka kami memutuskan untuk berhenti main air, berbenah diri, shalat, lalu pulang. Maaf ya Intan harus lekas pulang ke Surabaya karena ada yang menunggu di rumah. Semoga makan malam kalian menyenangkan dan sampai bertemu lagi.

---

Hiduplah Indonesia Raya...

Selamat Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2013.

Hari ini Bang Faizan, Teh Deti, dan Mba Upay harus kembali ke kota tercinta. Tidak ada keinginan lain hari ini selain bertemu dan membahagiakan mereka, meski sejenak. Bersama Talitha dan Dek Shafa aku ke Tugu Pahlawan, Surabaya, menanti mereka. Menyempatkan diri untuk berpose di depan kamera. Setelahnya kami makan di Plaza Surabaya, maaf ya jauh-jauh dari mamakota tapi diajak ke Mall. Waktu berjalan begitu cepat bagi yang sedang bergembira.

Ya, kami sangat gembira melewati waktu bersama hingga jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Tandanya kami harus bergegas ke Stasiun Pasar Turi. Setelah shalat dan "haha hihi" sejenak, tiba saatnya mereka pulang. Meski salah masuk pintu stasiun, namun itu yang menjadi nikmat kami hari ini. Tawa dan canda menyelimuti kecambuk di hati masing-masing.Jika mampu aku katakan, maka akan aku katakan "bisakah perpanjang waktu kalian disini?".

Perpisahan, pulang, ini saat-saat yang aku paling tidak sukai. Harus melihat mereka menjauh. Ada rasa ingin menangis, namun aku ingin mereka melihat senyumku sekali lagi. Dan aku yakin tak ada perpisahan tanpa kesan. Kami berpisah untuk bertemu lagi, bukan? Abang, Teteh, Mba, terimakasih sudah berkunjung ke kota ku, maaf jika ada yang kurang berkenan untuk kalian. Semoga tiga hari cukup membahagiakan kalian. Tunggu aku di kota kalian dan kota ini akan selalu meyambut kalian dengan kegembiraan.

Abang, Teteh, Mba.. Selamat datang di keluarga Jawa Timur dan menjadi bagian di dalamnya. Serta selamat jalan ke kota lainnya. Sampaikan salamku untuk kawan-kawan beserta segala senyumannya. Akan aku rindukan saat-saat kita berbagi berita dan Cerita.

:')