Thursday, 29 August 2013

anonymous

Ingatkan aku tentang satu momen di tahun lalu, satu tanggal di tahun ini, satu rencana di tahun depan, dan satu mimpi di tahun berikutnya.

Aku pernah berkata tentang hati, cinta, suka, dan harapan, meski tak bersamamu. Namun ternyata bersamamu aku temukan bahagia, kejujuran, dan rasa yang apa adanya. Aku tak pernah memaksanya ada. Bahkan saat kita tak bersama, beberapa bulan lalu. Masih selalu ku selipkan namamu dalam doaku, bukan berharap kamu ada tapi berharap kamu baik-baik saja.

Kamu, laki-laki yang pernah membuatku berada di atas awan, lalu menghempaskanku. Laki-laki yang jarang sekali menatap mataku, apalagi berbincang denganku. Aku hanya tau tentang kamu dan studi yang sedang kamu jalani. Aku tak pernah ingin tahu kemana kamu pergi saat itu, meski aku tau kamu punya tujuan. Ku biarkan kamu cari bahagiamu, semangatmu. Namun rupanya kamu tak pernah bahagia, begitu katamu.

Dan kamu kembali, dengan segala tingkahmu yang berbanding terbalik dari tahun lalu. Semua ucap mesra yang tak henti menjadi bunga hariku serta tatap mata yang mulai sering ku lihat. Aku tahu ada harapan disana, meski sempat aku berfikir untuk menjauh tapi aku tak mampu. Aku memang pernah terjatuh karenamu, dan cinta yang menguatkanku untuk bertahan sampai saat ini.

Selesaikan studi secepatnya. Lalu kembalilah dalam mimpi-mimpi masa depanmu, mungkin kita. Jangan pernah berhenti tersenyum dan tertawa karenaku. Dan semoga airmata itu.....airmata kebahagiaan. Sungguh aku tak mampu membayangkan jika aku yang membuatmu menangis, maafkan aku. Ingat janji kita untuk tetap saling mengingatkan, bicara, ada, dan bertahan. Semoga.

Terimakasih untuk semua perlakuan istimewa yang tak pernah terbayang sebelumnya.

:')

Thursday, 22 August 2013

Dalam Pelukan

Aku melihat satu laki-laki melewati ruanganku, orang yang sama dengan kemarin dan hari-hari sebelumnya. Biasanya di pagi hari begini ia memasuki semua ruangan yang ada di bangunan ini. Sengaja aku tak menyapanya, sudah terlalu sering mungkin justru membuatnya bosan nanti. Berjalan ke luar ruangan, masih segar sekali dan aku menyukainya. Hanya di pagi hari begini aku ingin keluar kamar sebelum tempat ini penuh dengan banyak orang yang selalu mencari-cari.

"Hey, Mel. Segar sekali pagi ini ya," sapaan laki-laki itu membuyarkan ketenanganku.

"Iya, seperti pagi-pagi yang lalu, kan? Sebelum dia datang," jawabku pelan.

"Kamu masih tidak ingin menemuinya, Mel?" ia menanyakan sesuatu yang paling aku benci.

Aku hanya terdiam, merasakan kecambuk perasaan di hatiku sendiri serta segala hitam yang membuatku seperti ini. Masih haruskan aku bertemu dengannya? Masih pantaskah aku? Ini bukan lagi perkara rindu dan ingin bertemu. Sungguh aku tak pernah menyangka akan ada di tempat ini yang akhirnya membuatku sengaja mengasingkan diri, meski mereka datang.

"Mel, memangnya ada apa? Ia merindukanmu. Hampir setiap hari ia datang kesini untukmu."

"Aku pun merindukannya, tapi aku punya alasan sendiri kenapa aku tidak ingin menemuinya. Apa kamu ingat dulu banyak sekali yang datang kemari untukku? Sekarang hanya dirinya, dan aku yakin sebentar lagi ia bosan dan mundur perlahan," tanpa ku sadari aku berair mata.

"Tidak akan. Ia pernah mengorbankan hidupnya untukmu bertahun lalu, dan aku yakin ia tidak akan menyerahkan keputus-asa-annya hanya karena kau tidak menemuinya. Temuilah, meski hanya tiga menit. Kamu rindu, bukan?" kata-katanya mulai menegas namun tetap lembut.

Laki-laki itu meninggalkanku sendiri tetap di depan ruanganku, berdiri dan berair mata. Tak jarang aku menangis, hanya saja ini kali pertamaku menangis karena rindu. Aku dapat merasakan bahwa aku benar-benar merindukannya. Aku sering mendengar suaranya memintaku membukakan pintu untuknya namun aku tak lagi melihat sosoknya. Sosok yang tak pernah lelah datang dengan serantang makanan untukku. Aku merasakan masakannya namun lagi dan lagi aku tak melihat bagaimana binar wajahnya setiap saat.

Sebentar lagi ia pasti datang dan aku masih berpijak disini tak ingin masuk ke ruangan lagi. Mungkin memang ini saat yang tepat untuk menemuinya. Aku sungguh rindu melihatnya berjalan, tersenyum, membelai wajahku. Sengaja aku menunggunya pagi ini setelah perbincangan dengan laki-laki tadi. Semoga ia masih ingin datang.

Di kejauhan aku melihatnya, dia yang sungguh aku rindukan. Aku tak dapat mengingat berapa lama aku menghindarinya dan aku tak dapat melihat rona bahagia di wajahku saat ini. Namun sepagi ini aku disuguhkan dengan pemandangan yang sungguh indah, melihat wajah serupa bidadari surga. Mengenali caranya berjalan yang sungguh mengagumkan. Secepat kilat ia mendekat, meletakkan rantang yang dibawanya di kursi yang ada di sebelahku. Dan pelukan itu mendarat di tubuhku.

"Melisa rindu ibu, sungguh," masih di pelukannya aku tersedu.

"Ibu juga rindu Melisa. Kamu tambah cantik ya, Nak. Sudah lama ibu tidak melihatmu, memelukmu seperti ini. Apa salah ibu hingga Melisa tidak pernah ingin menemui ibu? Ibu minta maaf," kata ibu yang masih memelukku dan menangis.

Aku melepaskan hangat pelukan ibu lalu berlutut di hadapannya, bersujud di kakinya, "Melisa malu, bu. Melisa malu sudah mempermalukan ibu. Apa ibu tidak malu setiap hari datang ke panti rehabilitasi narkoba seperti ini? Apa kata orang diluar sana, bu? Maafkan Melisa. Tolong maafkan Melisa telah membuat ibu malu."

Ibu membangunkan aku dari sujudku dan berlutut di depanku, lalu membenamkan aku dalam pelukannya. Perlahan sebuah jawaban terlantun indah, "Melisa Kusuma Firdausi, dengarkan ibu, Nak. Apapun yang terjadi, kamu...tetap...anak...ibu."

Saturday, 17 August 2013

Selamat Datang dan Selamat Jalan

Selamat Datang di Kota Apel, Bang Faizan, Teteh Deti, dan Mba Upay.

Itu kalimat yang tanpa sengaja ku ucap dalam hati, 15 Agustus 2013 di rumah tercinta. Pagi ini, aku menunggu seorang menjemputku untuk menemui mereka. Tak sabar rasanya menanti jam keberangkatan dan penyambutan. Surabaya-Malang dalam 4 jam, lalu Malang-Goa Cina dalam 3 jam, total 7 jam perjalanan hingga aku benar-benar melihat sosok mereka. Saling sapa, senyum, salam dengan mereka, tak lupa ku kenalkan lelaki yang bersamaku saat ini.

Kegiatan hari ini dimulai dengan MAKAN!! Bang Faizan, Mas Fikry, Faris Digory, Faris Kasela (begitu kami menyebutnya), Teza, Teh Deti, Mba Upay, Intan, Aditya di satu meja. Senang tiada tara bisa melihat senyum mereka semua. Lalu kami memutuskan untuk MAIN AIR. Sebetulnya di bayanganku, main air adalah berjalan di bibir pantai sembari membasahi kaki, namun rupanya tarik-menarik hingga basah dari kepala hingga kaki lebih seru, bersama orang-orang tersayang.

Tak terasa sudah mendekati maghrib, maka kami memutuskan untuk berhenti main air, berbenah diri, shalat, lalu pulang. Maaf ya Intan harus lekas pulang ke Surabaya karena ada yang menunggu di rumah. Semoga makan malam kalian menyenangkan dan sampai bertemu lagi.

---

Hiduplah Indonesia Raya...

Selamat Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2013.

Hari ini Bang Faizan, Teh Deti, dan Mba Upay harus kembali ke kota tercinta. Tidak ada keinginan lain hari ini selain bertemu dan membahagiakan mereka, meski sejenak. Bersama Talitha dan Dek Shafa aku ke Tugu Pahlawan, Surabaya, menanti mereka. Menyempatkan diri untuk berpose di depan kamera. Setelahnya kami makan di Plaza Surabaya, maaf ya jauh-jauh dari mamakota tapi diajak ke Mall. Waktu berjalan begitu cepat bagi yang sedang bergembira.

Ya, kami sangat gembira melewati waktu bersama hingga jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Tandanya kami harus bergegas ke Stasiun Pasar Turi. Setelah shalat dan "haha hihi" sejenak, tiba saatnya mereka pulang. Meski salah masuk pintu stasiun, namun itu yang menjadi nikmat kami hari ini. Tawa dan canda menyelimuti kecambuk di hati masing-masing.Jika mampu aku katakan, maka akan aku katakan "bisakah perpanjang waktu kalian disini?".

Perpisahan, pulang, ini saat-saat yang aku paling tidak sukai. Harus melihat mereka menjauh. Ada rasa ingin menangis, namun aku ingin mereka melihat senyumku sekali lagi. Dan aku yakin tak ada perpisahan tanpa kesan. Kami berpisah untuk bertemu lagi, bukan? Abang, Teteh, Mba, terimakasih sudah berkunjung ke kota ku, maaf jika ada yang kurang berkenan untuk kalian. Semoga tiga hari cukup membahagiakan kalian. Tunggu aku di kota kalian dan kota ini akan selalu meyambut kalian dengan kegembiraan.

Abang, Teteh, Mba.. Selamat datang di keluarga Jawa Timur dan menjadi bagian di dalamnya. Serta selamat jalan ke kota lainnya. Sampaikan salamku untuk kawan-kawan beserta segala senyumannya. Akan aku rindukan saat-saat kita berbagi berita dan Cerita.

:')

Friday, 16 August 2013

Rumah Impian

Hanya satu tempat yang akan ku tuju pada akhirnya untuk pulang, rumah.

Sudah menginjak tahun ke delapan aku berada di rumah ini. Satu per satu penghuninya datang dan pergi. Ada yang datang dengan sangat misterius, ada yang datang dengan tangisan, ada pula yang dengan tawa karena diajak oleh penghuni lainnya. Tapi beberapa sudah pergi, ah bukan pergi, hanya saja sudah menemukan bahagianya diluar sana. Mereka dijemput oleh orang yang belum benar-benar mereka kenal sebetulnya. Orang diluar sana sering menyebutnya dengan "diadopsi". Apapun itu, satu keyakinanku bahwa mereka akan mendapatkan kehidupan yang lebih layak bersama orang tua baru mereka. 

Senang dan sedih, bergantian ku rasakan. Tak jarang aku menangis kehilangan dan memberikan senyum sambutan di rumah impianku ini. Mungkin ini yang dirasakan oleh Ibu Rubi bertahun lalu saat aku masih diasuh olehnya di Panti Asuhan Aisyah. Dua puluh tahun aku berada di rumah itu bersama kawan-kawanku. Hingga aku lulus sekolah dan mendapat kerja, hingga dapat mendirikan Rumah Singgah Aisyah ini Sengaja aku memberi nama yang sama agar memberikan kenyamanan yang pernah ku rasakan sebelumnya. Bu Rubi memang sudah tak ada, namun jasa dan kebaikannya akan selalu terkenang dan ku persembahkan Rumah Singgah ini untuknya.

Sejak umur empat belas tahun, aku bermimpi untuk memiliki rumah singgah untuk anak-anak terlantar. Menyusuri setiap ruangan rumah ini, melihat beberapa anak berlarian di taman. Mendadak sekali ada satu yang ingin ku pertanyakan pada dua puluh empat anak disini. Aku panggil nama mereka dan ku kumpulkan semua di ruang belajar. Tanggap anak-anak mengambil kertas dan pensil yang sudah ku persiapkan di meja masing-masing. Sreett, Ciiit, papan dan kapur mulai beradu karena aku menggoresnya,

"Rumah Singgah Aisyah adalah rumah impian bunda. Bagaimana rumah impian kalian?"

Mataku mulai melihat sekeliling ruangan, Subhanallah ini anak-anakku, aku sangat menyayangi mereka. Aku mulai berjalan menghampiri mereka satu-persatu. Berbagai jawaban yang mereka tulis tentang rumah impian mereka. Ada yang ingin memiliki rumah sederhana dan hangat, ada yang ingin memiliki rumah dengan taman yang luas, ada yang ingin memiliki rumah seperti artis-artis ibukota yang harganya milyaran. Namun satu pemandangan berbeda saat tiba tepat di bangku ketiga dari depan. Seorang anak perempuan berusia dua belas tahun, Puti namanya, belum menuliskan apapun di kertasnya. Aku coba bertanya mengapa ia tak menulis.

Puti mulai melihat ke arahku dan bertanya, "Apa bunda akan mengusir Puti dari rumah ini?"

"Tidak, nak. Bunda hanya ingin tahu rumah impian kalian, termasuk Puti. Siapa tahu nanti ada yang menjemput dan mengajak Puti ke rumah impian," jawabku tegas.

Matanya berkaca, namun jawabnya tetap tegas, "Bunda, bisa berada di rumah ini saja Puti masih merasa seperti mimpi, apa pantas Puti memiliki impian lain? Jika pantas, Puti bermimpi tetap menjadikan rumah ini sebagai impian Puti, bersama Bunda."

Mataku terpejam, memeluk gadis menggemaskan ini, merasakan detak jantungnya. Jangan tinggalkan Bunda, Puti. Bunda menyayangimu, juga teman lainnya. Terimakasih atas jawaban tegasmu. Dan mulai detik ini, aku bertekad akan menjadikan rumah ini tetap sebagai impianku, bersama anak-anakku. Ku seka airmata, melihat jatuh tepat di mata Puti sembari memberikan senyum, dan ku lanjutkan melihat jawaban lainnya dengan segala mimpi-mimpiku untuk mereka.

Rumah Singgah Aisyah, bersama mereka yang ku cinta. 

Tuesday, 13 August 2013

Sisa yang terkenang

Tak ada pertemuan yang tak terkenang, dan tak ada kenangan yang terlupakan.

Surabaya, Agustus 2010
Terik tak pernah mengalah. Selalu saja menyisakan peluh di tubuhku, aku tak begitu menikmatinya. Demi sampai di rumah orang kesayangan aku terus mengayuh sepedaku. Pakaian sudah lusuh oleh keringat dan debu. Tapi aku harus sampai disana. Tak ada yang menantiku disana, tapi bagian depan rumah itu selalu mengundangku setiap tahunnya. Karena kenangan.

Aku berhenti sejenak, menghela nafas panjang dan menenggak minuman dari si biru. Sekilas terbayang semua kenangan itu. Selalu melewati waktu berdua bersama diluar rumah, di hamparan hijau dengan beberapa pot anggrek dan tanaman lainnya. Taman yang menyimpan milyaran cerita, antara aku dan nenek. Taman yang tak pernah berhenti melindungi kami berdua dari terik. taman yang selalu menyambutku dengan hembusan angin tenangnya. Bukan rumah, hanya taman rumah. Aku mengerti akan ada yang berbeda jika hari ini aku datang kesana. Tak akan ada lagi cerita-cerita yang menakjubkan itu. Aku akan sangat rindu.

Sudah satu tahun nenek kembali ke sisi Allah, Sang Pencipta. Aku tak pernah menyangka jika tahun lalu adalah tahun terakhir taman itu menjadi rumah bagi kami dan segala ceritanya. Jika aku punya pilihan lain, aku memilih untuk tak datang. tapi taman mengundangku, dan akan menyambut kedatanganku nanti, pasti. Ku lanjutkan mengayuh sepedaku, mencoba berdamai sedikit saja dengan terik. Lima, sepuluh, limabelas menit berlalu.

Sudah terlihat hijau yang menggoda dari kejauhan. Pagar yang tak benar-benar menutupi keindahannya. Aku percepat laju sepedaku. Hosh Hosh, nafasku mulai tersengal, tapi si hijau terus menggoda pandanganku. Ada pemandangan yang berbeda, ramai sekali disana. Segerombol manusia tampak sedang melihat-lihat ke dalam rumah. Beberapa pertanyaan berlalu-lalang, salah satunya "Apa tamanku sudah menjadi taman nasional hingga sudah boleh dikunjungi banyak orang?" Menerka, mengira, hingga sepedaku berhenti tepat didepan pagarnya. Dan...ada satu tulisan disana. Tak percaya aku membacanya.

"DIJUAL!!!"

Hatiku bagai kepala tentara yang tertembak, terlindas kendaraan berat, terinjak, HANCUR. Tangisku tak tertahankan. Tamanku, taman nenekku, taman anggrekku. Aku mengenali mereka semua dan mereka pun mengerti mengapa aku menangis. Salah satunya memelukku. Tak ada yang dapat aku lakukan, bahkan untuk melangkah pun aku tak mampu. Sudah kehilangan nenek, dan sekarang akan kehilangan taman kami. Lemah, pelan, berbisik ku katakan pada mereka,

"Jangan kau jual kenanganku, nenek dan anggrek, aku mohon."

Friday, 9 August 2013

Pulang



Jejak rindu mulai samar
Segala ucap serta laku tak henti menjadi bayang
Satu harap selalu memancar
tak pernah menjadi remang
apalagi pudar

Menanti satu masa
Entah kapan akan menjadi nyata
Jika memang hanya dapat menjadi rasa
Biarlah tetap berwarna
hingga sempurna

Ingat satu janji yang sempat terucap
Bahkan di setiap cakap
tak samar, tak membayang, tak remang
Terang
Masih ingin janji itu terulang
Pulang

Pulanglah, kembalilah
jangan biarkan hati mulai terbelah
Pecah
Rinduku tak terbantah
Rasaku tak lagi mengalah
Pulanglah

Thursday, 8 August 2013

Biar Hatiku Bicara

"Harus berapa kali lagi aku katakan, aku masih sayang kamu. Sampai sekarang," ucapku pada pria yang terus saja menolak untuk melihat ke arahku.

"Cukup!!! Aku tak ingin dengar kata itu lagi! Bisa kamu hilangkan kalimat itu?" jawabnya.

Aku tersentak. Dia, pria yang menemaniku bertahun-tahun. Dia yang tak henti menjadi senja dan fajar untukku. Tega sekali ia bicara dengan nada sekasar itu. Bahkan ia memintaku untuk berhenti mengatakan kalimat kesukaannya. Apa ia sudah berhenti menaruh hatinya padaku? Bahkan tak bersisa? Hatiku seperti di lempar ke pulau terjauh dari tempatku berpijak. Jika memang tak ia berkenan lagi dengan semua ini, biar hatiku yang bicara.

Aku sudah menyanyi
Tapi kau tak lekas menari
Aku pun sudah menangis
Tapi kau tak juga peduli
Haruskah aku menyanyi sambil menangis?

--------------------

"Cukup!!! Aku tak ingin dengar kata itu lagi! Bisa kamu hilangkan kalimat itu?" jawabku.

Astaga. Apa yang sudah aku lakukan? Sentakanku pasti membuatnya terkejut. Maafkan aku, gadisku. Aku pun masih menyayanginya, hingga saat ini. Namun apa yang bisa kita lakukan? Dia sudah mendekati hari bahagianya, cincin akan segera tersemat di jari manisnya. Aku tak ingin merusak segala rencana orang tuanya ini. Sudah tidak seharusnya ia menyayangiku setelah perjodohannya dengan pria pilihan orang tuanya. Jika memang ada tembok yang membatasi kita, biar hatiku yang bicara.

Aku memujanya
Bayang semu yang redup
Namun terang mimpinya, cintanya
Selalu menjadi nyata bagiku
Aku mencintanya
Gadis yang selalu memukau

---------------------

"Maaf," ucapnya lagi.

"Maaf untuk apa? Apa salahmu? Aku yang salah. Aku sudah dipilihkan pria terbaik oleh ibu dan ayah tapi aku masih saja menyayangimu, maaf," jawabku lirih.

"Maaf untuk nada tinggiku, maaf karena aku tak pernah bisa mempertahankanmu, maaf karena aku tak pernah membahagiakanmu," ia berkata tanpa berfikir sedikitpun. Semua mengalir begitu saja.

Aku tak tahu harus bahagia atau sedih. Kalimat terakhirnya membuatku mengerti bahwa ia pun menyayangiku. Aku pun mengerti tak akan ada yang bisa ia lakukan untuk mempertahankanku, sama. Aku tak akan memaksanya, biar rasa ini masih disini. Aku sudah memutuskan, bersama kedua orang tuaku. 

"Tidak. Kau sudah mempertahankanku hingga detik ini. Sadarkah kau selalu menemaniku? Membahagiakanku. Terimakasih karena selalu ada." berjuta terimakasih yang belum terucap, ia pasti tahu.

"Terimakasih sudah mempercayaiku. Berjanjilah padaku kau akan bahagia, bersamanya." pintanya padaku. Mungkin akan jadi permintaan terakhir darinya.

Aku tak kuasa menahan air mata. Sudah cukup rasanya aku mendengar cap cip cup salam perpisahan yang terucap. Aku memeluknya, pria impianku, namun bukan impian orang tuaku. Aku ingin bahagia kali ini, sekali saja. Ia juga pasti bahagia dalam pelukku, ku pertahankan. Biar aku seperti ini terus memeluknya. Biar aku membahagiakannya sementara saja jika tak mungkin selamanya. Biar aku bahagia dengan kecambuk di hatiku. Andai saja kata itu terucap, mungkin bahagiaku kan melebihi segalanya meski nantinya harus berpisah. Tak ada lagi yang mampu ku ucapkan, hanya peluk dan isak tangis.

"Biar hati kita yang bicara," aku putuskan ini kata terakhir dariku, masih menunggu jawaban darinya, pria impianku.

"Aku menyayangimu, hatiku yang bicara," terbata ia mengucapkannya, menyisakan senyum dalam tangisku. 

Aku pun menyayangimu, ucap hatiku tanpa lisanku.

Tuesday, 6 August 2013

Thanks for This

Sore yang perlahan pergi, meninggalkan sisa, jingga. Sayup ku dengar suara angin, menentramkan hati yang tengah cemas menanti. Mengapa ia tak kunjung datang? Lupakah tentang janji hari ini?

"Sayang", suara itu membuyarkan lamunanku. Akhirnya ia datang, terimakasih Tuhan.

Sosok lelaki tinggi dengan kaos hitam, warna favoritnya, datang di hadapanku. Tersadar ada empat mata yang saling menatap dan dua bibir yang tak henti tersenyum. Masih dengan posisi semula, diatas bangku kayu tempat kami biasa berbagi cerita, untuk sekedar menatapnya pun aku bahagia. Tanpa kata, tanpa bicara, tanpa isyarat, mungkin ia tak mengerti betapa berartinya rasa indah ini setiap aku bersamanya, yang ia pahami hanya aku selalu menunggunya datang. 

"Sudah? Berangkat sekarang, sayang?" tanya lelaki kesayangan.

"boleh," jawabku singkat.

Mobil melaju dengan kecepatan rendah, aku masih terus menatapnya, berharap akan ada hari esok untuk kembali menatap teduh matanya. Kami menuju tempat yang ku harap membuatku nyaman untuk berlama-lama di dalamnya.

------------------------

"Assalamualaikum," salamku pada pemilik rumah.

"Waalaikumsalam, oooohh ini pacarnya mas," aku terkejut, ada sosok tampan kira-kira berumur 10 tahun menjawab salamku dengan mata berbinar.

Rupanya ada orang lain yang menungguku, di dalam rumah. Seorang wanita berbadan mungil, cantik, matanya pun mengisyaratkan sesuatu yang aku belum bisa menangkapnya hingga detik ini. Tanpa ku sadari aku melupakan lelaki kesayangan karena terlalu mengalir dalam ombak perbincangan keluarga hangat ini. Dimulai dari pernyataan dan pertanyaan ringan, hingga beberapa pesan untuk kedekatanku dan dia. 

Sudah enam puluh delapan menit aku disini dan masih saja lelaki 10 tahun ini bergelayut manja di lenganku sembari mengajakku bermain. Aku memang tak paham dengan permainannya, tapi aku paham si kecil ini ingin menunjukkan kesukaannya padaku, cerdas. Jam makan malam pun tiba, sejak tadi sampai saat ini, wanita berbadan mungil memberiku sebuah amanah dan aku berharap aku mampu menjalankannya. 

"Iya, begitulah, nak. Sampaikan padanya tentang apa yang saya ingin. Saya harap dia mau mendengarkanmu," ucapnya lirih namun penuh harap.

"InsyaAllah, atas ridho Allah ya, saya akan coba sampaikan," jawabku berharap sedikit menenangkannya.

"Terimakasih," senyumnya tersungging. Ada sedikit lega di hatiku.

"Kalau begitu saya pamit pulang, sampai bertemu lain waktu," balasku sembari berkata dalam hati, -saya akan merindukan keluarga ini-

-------------------------

"Sayang, ada apa? Memikirkan sesuatu?" tanya lelaki kesayangan ini.

"Tidak. Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu, amanah, dari bunda dan adik-adikmu, sayang,"

Semua pesan mengalir begitu saja, sedikit nada manja dan merayu berharap ia akan meng-iya-kan permintaan-permintaan ini. Ragu menyapa, masih saja ku lanjutkan demi membahagiakan keluarga yang baru saja ku temui. Aku merasa memiliki tanggung jawab tentang ini. Beberapa kali ia menghela nafas panjang tanda keberatan, aku hanya tersenyum. Sampai aku yakin "iya" darinya bukan hanya sekedar kata. Dan sedikit harap, "Tuhan, bantu aku meyakinkannya. Bantu ia ikhlas".

Perjalanan yang tak seberapa jauh terasa lama karena suasana menegangkan ini. Sedikit perdebatan menghiasi bincang malam. Emosi, cinta, bahagia, harap, cemas, rindu, menyatu dalam hatiku, mungkin juga hatinya. Ku tajamkan mataku ke arahnya yang sedang memperhatikan jalanan, aku suka menatapnya, aku selalu rindu untuk menatapnya seperti ini. Sempat ia bertanya bahagia kah aku? Apa orang tuanya membebaniku? Aku hanya tersenyum. Mataku memancarkan cemas, namun hatiku melompat kegirangan. 

Mobil putih ini berhenti tepat di depan rumahku. Aku tak segera beranjak, masih mencari alasan untuk tetap menatapnya. Menanyakan beberapa hal dan diam, kembali menatapnya. Indah senyumnya, teduh matanya, aku kan segera merindukannya, lagi. Mau tak mau aku harus turun, kembali ke rumah. Namun ia tak tau, aku sudah menuliskan sebuah ringkasan perjalanan untuknya, beserta jawaban-jawaban atas semua pertanyaannya.

"Terimakasih untuk tatap mata yang selalu teduh, untuk senyum yang selalu menenangkan, untuk ucap yang selalu meyakinkan, untuk keluarga baru yang ku sayang sejak aku mengucap salam. Sayang, sampaikan salamku untuk ayah, bunda, dan adik-adikmu. Kau tau, tak ada lagi yang membebani pikiranku. Karena bahagia adalah.....saat aku menemukan keluarga baru yang hangat, saat aku berbincang dengan dua adikmu, saat dapat menyayangi bukan hanya pribadimu tapi juga keluargamu. Terimakasih untuk malam yang indah ini."

Berharap lelaki kesayangan lekas membacanya dan tersenyum lega setelahnya. Tuhan, terimakasih untuk nikmatMu yang luar biasa ini. Aku bahagia.