"Seperti apa kamu terlatih, pertahankan jika baik, ubahlah jika belum baik."
Kata-kata itu masih saja terdengar di telingaku, kata darimu. Ada perih tergores dan berat dalam kata yang ku ucap. Seorang gadis berwajah lokal yang sedikit sendu. Bermata sayu. Rambut yang selalu tergerai indah, ikal, ah cantiknya kau. Semua memori itu berputar, terulang, lagi dan lagi di otakku. Mengingat semua yang kita bicarakan, semua yang kita lalui. Tentang bagaimana kita merayakan hari lahir kita bersama. Tentang enam tahun yang tak selalu indah namun menghadirkan berjuta ragu, haru, dan manis yang melebihi madu.
Pantai dan strawberry yang kita nikmati bersama. Menjagamu saat sakit, kau tunggu saat terlelap, tersenyum saat saling tatap. Itu sungguh indah, semoga kau merasakan, aku rindu kau yang dulu. Entah dari mana awalnya, kita seakan dipaksa untuk menjauh. Sesuatu yang aku tau dan mungkin kamu tidak tahu itu membuatku sungguh tak ingin melihatmu, meski aku rindu. Ada kebencian yang teramat saat orang terdekatmu ingin mengambil yang ku miliki untukmu. Aku tau itu bukan kau. Tapi aku tak mampu menyembunyikan semuanya,
Dalam bilik, diatas meja kerjaku, pagi ini ku temukan kotak plastik penuh strawberry. Mendekati hari bahagia kita, ah bukan..hari bahagiaku. Mungkin ini dari kawan bilik sebelah atau yang lain. Siapapun itu, terimakasih.
------------------------------
Jalan yang selalu kita lalui bersama, aku mengingatmu lagi. Hingga sampai pada gerbang yang ku tuju, rumahku. Aku masih memikirkanmu, tidakkah kau menyadari perubahan sikapku padamu? sedikit saja. Dan di ruanganku, sepetak kamar tidur yang menjadi tempat favoritku, aku menemukan lagi sekotak penuh dengan strawberry, kali ini lebih besar.
"ayah, siapa yang menaruh strawberry di kamar Lian?"
"Tidak tahu, ayah juga baru saja tiba," jawab ayah.
"ayah mau? kita makan strawberry bersama yah. temani Lian," ajakku seolah aku benar-benar ingin membaginya dengan ayah.
"sudahlah Lian, hubungi Ika. ayah tau kau merindukan sahabatmu itu."
Aku hanya menjawabnya dengan senyuman. Aku memang sangat merindukannya, tapi aku belum bisa memaafkannya, Ia pun sama sekali tak menghubungi meski sekedar menanyakan kabarku. Rupanya aku memang ingin menghabiskan buah kesukaanku ini sendirian.
------------------------------
Esok harinya rutinitasku masih ku lakukan. Diawali dengan susu coklat hangat dan dua buah strawberry. Aku belum menemukan semangatku yang dulu. Belum. Karena aku kehilangan salah satu orang yang ku sayang. Gadis dengan rambut indah itu, Widuri Ika Maharani, sahabatku. Seusai mandi dan sarapan, sudah ada lagi sekotak penuh strawberry di dapur. Kali ini lebih kecil, hanya berisi lima buah.
Aku memakannya satu persatu, perlahan. Hingga aku merasa tidak biasa dengan semua keberadaan strawberry ini. Di manapun dan kapanpun. Aku ingin tau siapa yang menaruhnya. Pada buah ketiga, ku pandang sejenak, lebih mungil dari empat lainnya namun warnanya lebih merah. Ku coba menggigitnya sedikit, "ah strawberry macam apa ini, masam sekali, sudah lah aku berangkat saja," ucapku mengumpat si merah mungil yang masam. Dan saat aku berbalik badan,
"Ika.." aku melihat sosok yang sangat ku rindukan disana. Tapi ada kebencian hingga aku enggan untuk melangkah.
"Itulah hidup. Sebanyak apapun manis yang kau rasa, sebesar apapun hadiah dan kebahagiaan yang kau terima, kau akan merasa aneh jika kuantitasnya berubah dan manisnya berubah menjadi masam. Bahkan kita seringkali berhenti dan tak mencoba lagi karena takut atau tak ingin mengulang masamnya, seperti dua strawberry yang kau tinggalkan," Ika mencoba menjelaskan tapi aku tak menangkap apa maksudnya.
"Maksudmu?"
"Aku tau kau marah padaku. Bukan aku tak rindu, bukan aku tak peduli. Aku masih bertahan pada masam itu, sepertimu. Hingga aku ingat tentang seperti apa kita terlatih, bicara. Aku memulainya,"
"Mengapa strawberry? Mengapa kau samakan amarahku dengan buah kesukaanku ini?" aku masih saja membantah semua yang dikatakan ika.
"Lian, sahabatku, bisakah kita coba memakan dua strawberry yang tersisa ini? Bisakah kita mejadi Ika Lian lagi? Bukan hanya Ika atau hanya Lian."
Tak ada lagi yang mampu ku ucapkan. Bulir air meyentuh pipiku. Tangan Ika menggapai tubuhku. Aku merindukannya, gadis berambut panjang yang selalu terurai. Biar kita lupakan masam itu, amarahku. Karena kita masih memiliki manis untuk dinikmati bersama, bukan hanya aku dan bukan hanya kamu. Kita yang selalu terlatih untuk bicara dan mendengar. Kita yang akan berlatih lebih mengerti dan peka, lalu mempertahankan manisnya.